Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu empat orang suster pengurus panti jompo yang tinggal di asrama itu sedang duduk di ruang tamu yang menghadap ke halaman sambil minum teh. Mereka sambil menikmati roti kering dari merek Khong Guan.
Mereka semua sudah berusia diatas lima puluh tahun dan memang hanya tersisa mereka berempatlah yang masih bertahan di sini. Sedangkan suster-suster baru tidak ada, karena rendahnya minat wanita untuk menjadi pelayan panti jompo ini.
Di sini mereka menampung para jompo pria dan wanita yang berasal dari beberapa daerah yang tidak diurus oleh anak-anak mereka.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba empat buah truk bermuatan masuk lalu bongkar muatan di halaman panti jompo itu. Sehingga halaman yang awalnya kosong menjadi penuh dengan bahan bangunan.
Ada balok kayu belian, balok bengkirai, dan balok keladan. Ada juga kawat-kawat, batu-batu pecah, waring dan juga pasir. Sehingga keempat orang suster itu jadi saling pandang karena keheranan. Suster Yohana, sebagai pimpinan mereka lalu turun ke bawah dan menjumpai para pekerja yang sedang menyusun barang-barang mereka.
“Maaf, mengapa menyusun barang-barang di halaman kami tanpa memberi tahu?” Tanya Suster Yohana lembut tetapi tetap setengah mengkritik para pekerja itu yang nyaris tanpa tata krama.
Seseorang yang sepertinya mengontrol dan mengatur pekerjaan mereka semua itu datang mendekati suster Yohana.
“Ndak kok Suster. Ini kan sudah kami beli. Satu bulan yang lalu sudah kami bayar lunas. Makanya kami menyimpan barang-barang di sini, karena seminggu lagi kami akan bangun ruko di sini.
Suster Yohana tentu saja terkejut bukan main dan sangat kebingungan mendengar penjelasan laki-laki itu. “Kapan kalian membelinya? Kami kok tidak tahu?”
“Lho? Padahal sudah kami bayar dengan atasan kalian di kota kabupaten.” Jelas orang itu lagi. “Justru kami yang heran mengapa para suster di sini kok tidak pindah-pindah?”
“Oh, yalah kalau begitu informasinya. Maaf menganggu kalian.” Kata suster Yohana sambil berlalu, kembali keatas dengan sedapat mungkin menahan agar air matanya tidak jatuh berderai.
“Ada apa?” tanya tiga suster yang lainnya penasaran.
“Sebentar. Saya mau telpon ke kabupaten dulu,” kata suster Yohana langsung menuju ke ruangan telpon.
Melalui sambungan telpon, atasan mereka di kabupaten yang baru berusia tiga puluhan tahun itu membenarkan jika Panti Jompo itu memang sudah di jual. Hanya saja dia lupa memberitahu mereka yang tinggal di situ, katanya.
Suster Yohana meletakan telponnya, terduduk dilantai dan langsung menangis sesungukan seperti anak kecil. Ketiga orang rekannya langsung mendekat dan setelah suster Yohana menceritakan hal itu secara terbata-bata, mereka berempat lalu menangis bersama.
Mengapa semuanya seperti tidak mempunyai tata krama, baik atasan mereka yang menjual asrama itu dan orang yang membelinya juga begitu angkuh langsung saja memindahkan barang-barang mereka tanpa memberitahu?
Rupanya pembelinya adalah seorang tukang emas bernama Chen Kuan Tay. Dia disuruh bossnya di ibukota Provinsi untuk mencari tanah disini dan hasilnya nanti akan mereka bagi dua. Chen Kuan Tay berhasil melobby pimpinan Panti Jompo itu di kabupaten.
Tanah Panti seluas 40.000 M2 itu di beli seharga 250 juta, lalu dibangun ruko tiga tingkat sebanyak 266 unit. Satu unit kemudian dijual 1,5 milliar, sehingga tukang emas yang jadi developer itu memperoleh pendapatan kotor sebanyak 399 miliar.
***