Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin pagi relatif tenang, suara hewan liar seakan ingin berdendang, lalu dahan-dahan pohon terlihat turut bergoyang.
Sambil merapikan kerah jaketnya, Quỳnh Trang Vinh dan Nguyen Lien Lie mulai melangkah dengan dagu terkubur dalam-dalam di balik scarf, melewati jalur setapak berkelok-kelok yang dipenuhi pohon pinus.
Aku yang berjalan di belakang teman pendakianku dari Vietnam itu tiba-tiba mendengar bunyi aneh, seolah-olah pendengaranku menjadi lebih tajam dan sensitif berkat sebuah temuan baru.
Menurutku aneh bila angin yang tenang dapat menimbulkan suara. Sama halnya dengan air. Terlintas di benakku bahwa bunyi bukan dihasilkan oleh angin, melainkan terjadi kontak atau gesekan dengan objek yang menghalangi alirannya. Sialnya, aku kebelet pipis di saat-saat genting seperti ini.
Sewaktu kencing di samping pohon pinus, aku tiba-tiba melihat bayangan samar sesosok wanita dewasa berpakaian serba putih yang melayang turun menuju sumber air.
Dewi Anjani? Sosok permaisuri penguasa jin di Gunung Rinjani. Aku menelan ludah, lalu membetulkan posisi celana dalamku.
Setelah megap-megap sebentar karena memikirkan hal itu, aku menguatkan hati, kemudian dengan panik langsung berlari sekuat tenaga bagaikan kuda pacu yang memelesat dari gerbang start menuju garis finis.
"Lama sekali, sih!"
"Kita bisa gagal melihat sunrise, tahu!"
Aku tidak menanggapi ocehan teman-temanku itu, napasku terengah-engah.
"Kita lanjutkan perjalanan sekarang, yuk!" seru Quỳnh Trang Vinh, lalu bergegas mengatur ranselnya.
Nguyen Lien Lie pun segera merapikan jaketnya. Baru beberapa saat kemudian gadis berkacamata itu menyadari kondisiku yang tidak biasa. "Rick, kau kenapa?"
"Aku… lihat—"
"Lihat apa?"
"Apaan, sih?"
"Bayangan… put—"
"Apa?"
"Dewi… Anjani… hilang—"
"Rick, kau tenang dulu, dong. Atur napasmu. Lalu, bicaralah dengan santai." Seolah Quỳnh Trang Vinh dan aku sama-sama lelaki, dia memukul punggungku keras-keras.
"Aku melihat bayangan putih Dewi Anjani. Dia melayang ke sumber air." Suaraku terdengar pecah. Aku benci telah kehilangan kontrol, menunjukkan kelemahan pada saat aku dituntut harus kuat.
"Bayangan putih? Di gunung ini?" bisik Quỳnh Trang Vinh sambil memalingkan wajah ke sekeliling.
Aku mengangguk pelan tanpa ekspresi.
Tiba-tiba hening.
Selang beberapa saat kemudian terdengar tawa yang cetar membahana, "Huahahahaha!"
Bibir Quỳnh Trang Vinh yang dipoles lipstik merah muda berkilauan itu terbuka lebar. "Kau pasti berhalusinasi."
"Halusinasi memang salah satu penyakit di ketinggian." Nguyen Lien Lie pun setuju dengan ucapan sahabatnya itu.
"Tapi, aku benar-benar—"
Quỳnh Trang Vinh memotong ucapanku, "Hohoho, jangan-jangan kau berencana untuk menakut-nakuti dua cewek cantik ini agar bisa dipeluk erat-erat, ya! Dasar!"
"Bukan begitu, aku benar-benar melihatnya."
"Haduh, kau pasti hanya berhalusinasi. Sudahlah, kau istirahat saja dulu." Sambil berkata seperti itu, Nguyen Lien Lie melepaskan ranselnya lalu mengambil termos mini dan memberikannya padaku.
"Terima kasih." Aku menerimanya dengan tubuh sedikit gemetar. "Tapi, sampai detik ini aku belum pernah berhalusinasi."
"Mungkin itu cahaya bulan yang menembus dedaunan." Quỳnh Trang Vinh menganalisa.
"Bisa jadi cuma plastik kresek berwarna putih yang terbang terbawa angin." Nguyen Lien Lie berkelakar.
"Huahahahaha!"
TIDAKKK! Aku ingin sekali membantah, tetapi aku menahan diri. Bagaimana pun, kedua cewek Vietnam itu sudah berusaha menenangkanku.
"Oh, mungkin memang itulah yang kulihat." Aku tersenyum kikuk, lalu kembali menatap TKP sambil meneguk teh hangat yang diberikan oleh Nguyen Lien Lie.
Itu benar-benar bayangan putih Dewi Anjani.