Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gue senyum ke arah dia. Buset, manis banget ini cewek. Kulitnya sawo matang, rambutnya sebahu, dan pakai lipstik warna merah.
Gue genggam tangan dia; jemari kami saling bertautan.
Dia juga senyum ke arah gue.
Kemudian... buyar.
***
Gue terbangun. Alarm sialan.
Lagi-lagi gue mimpiin dia; si cewek manis ini. Dan gue enggak tau siapa dia. Ini mimpi, tapi dia terasa begitu... nyata.
***
Semalem, udah ketujuh kalinya gue mimpiin itu cewek. Bayangin, tujuh malam berturut-turut gue ketemunya dia lagi, dia lagi.
Malam pertama, berdiri sebelahan di kereta.
Malam kedua, sebelahan lagi pas mau nyeberang jalan.
Malam ketiga, di tukang bubur abis jalan pagi.
Malam keempat, pas ngantri mau bayar di minimarket.
Malam kelima, nonton sebelahan di bioskop.
Malam keenam, nonton bola bareng di stadion.
Malam ketujuh, nunggu kereta di peron stasiun. Biasanya, gue cuma bisa ngeliatin dan senyumin dia; lalu dia senyumin gue balik. Tapi, di malam ketujuh ini, gue sedekat itu sama dia sampai akhirnya bahkan bisa genggam tangan dia.
Tangannya halus dan hangat; terasa terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Aneh banget.
Dan karena mimpi kali ini, gue beneran enggak konsen kerja di kantor seharian. Anjir, siapa sih ini cewek?!
***
Tiga bulan.
Sudah tiga bulan cewek ini enggak mampir lagi di mimpi gue. Rasanya? Ya aneh banget. Gue merasa... entah, kesepian? Kecewa? Karena tiap gue kebangun, gue ingat bukan dia yang ada di mimpi gue.
Tiga bulan ini, buku sketsa gue dipenuhin sama muka dia. Kapan pun ada waktu, gue gambar dia; sampai orang-orang di kantor nanyain siapa dia. Gue bilang aja gue lagi bikin comission buat temen gue—dan untungnya mereka percaya aja.
Padahal, gue gambar dia terus supaya gue enggak lupa.
Gue enggak mau ngelupain dia.
***
Pulang kantor, gue pergi ke toko alat tulis yang ada di deket kantor. Buku sketsa kedua gue udah habis. Gue udah mulai capek ngumpulin kertas demi kertas berisi sketsa wajah dia di map yang selalu gue bawa ini.
Selesai bayar, gue kempit map ini supaya gue bisa masukin uang kembalian ke dalam dompet sambil jalan ke arah pintu. Baru gue mau buka pintu, tau-tau ada yang nabrak gue dari arah luar, bikin dompet dan map gue jatuh—berceceran pula isi mapnya.
Sialan.
"Aduh, sori, sori!"
Suara cewek. Panik. Gue udah keburu bete. Gue langsung jongkok buat ambil map, dan kertas-kertas gue yang berserakan. Gue liat si cewek ceroboh itu juga ikutan jongkok, ngambilin dompet gue yang mentalnya lumayan jauh. Terus dia balikin dompet gue.
"Hati-hati dong kalau jalan, liat-liat yang bener!" bentak gue sambil ngambil dompet gue; masih ogah buat ngeliat mukanya.
"Sori, sori banget..." katanya, sekarang ikut bantu ambilin kertas-kertas gambar gue. "Eh, ini gambar kamu?"
"Iya."
"Kayak kenal deh, ini..."
Kenal apanya, sih?! Gue langsung ngerebut kertas yang lagi dia pegang sebelum dia bisa komentar lagi dan kelihatan jelaslah sekarang wajahnya.
Kulit sawo matang, rambut sebahu, dan lipstik warna merah.
Saling melihat wajah masing-masing, kami kompak saling tunjuk dan berseru, "Lah?! Kamu?!"
Semenit berlalu. Dia tetap solid; tidak buyar seperti biasanya.
***
Ini bukanlah lagi mimpi.
Ini kenyataan.