Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dia dikenal sebagai wakil rakyat yang ramah dan suka membantu sesama. Setidaknya itulah kesan yang kutangkap dari Gazali dari pemberitaan di media massa. Meski aku belum pernah mewawancarainya langsung, saat ini aku masih percaya dia legislator yang baik hati. Selalu tampil membela kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Entah dia sedang mewacanakan memberdayakan remaja mulai tingkat RT atau memfasilitasi pembangunan jembatan di kelurahan. Bukankah wakil rakyat memang seharusnya begitu?
Hari ini, aku harus menemui sepupuku di Jalan Mawar. Penugasan dari kantor untuk mewawancarai Kepala Dinas Pendidikan direschedule karena ada rapat bersama pak walikota.
Namun tiba di rumah sepupuku, yang kudapati adalah keluhannya terhadap sebuah keluarga tak mampu. Ardi menatapku. Dia berharap aku dapat membantu memuat kisah keluarga itu.
“Sebenarnya, anak mereka itu sudah lama mengalami Hydrocepallus. Namun tak cukup uang untuk berobat. Meski ada kartu jaminan kesehatan kan masih banyak pengeluaran lain-lain. Bisa ga kamu bantuin beritakan di media biar ada dermawan yang bantu?” ucap cowok yang masih duduk di semester lima perguruan tinggi negeri di Kota Maritim ini.
Aku diam. Ya, aku memang sedang mencari kisah human interest untuk dijadikan tulisan khas atau feature. Apalagi mereka butuh bantuan. Ditugaskan atau tidak, aku akan pergi ke rumah mereka yang hanya berjarak 150 meter.
Kami tiba rumah kayu berlantai semen. Dinding rumah terbuat dari kayu yang cat birunya memudar bahkan terkelupas di sana sini. Hanya ada satu jendela berukuran 1x2 meter dengan tirai kuning. Kami disambut suami istri yang menurutku umurnya hampir sama denganku. Sang suami, bekerja sebagai tenaga lepas tehnisi sebuah event organizer. Istrinya, pencuci baju.
Aku menatap iba pada seorang bocah laki-laki berusia dua tahun. Terbaring di ranjang kayu di ruang tengah. Matanya membulat dan merah. Terdorong oleh cairan kepala yang membuat ukuran kepalanya lebih besar dari tubuhnya. “Anak saya sudah lama begini. Tapi tak cukup uang mengobatinya,” ujar Marla, ibu dari balita bernama Rangga.
Aku mendengarkan setiap kata dari penuturan si ibu. Rasanya hatiku sangat sedih melihat kepala bocah itu membesar. “Apakah ibu pernah meminta bantuan dari orang lain?”
“Pernah. Bahkan pada orang di poster itu,” kata Marla, sembari menunjuk poster wakil rakyat yang menurutku selama ini baik hati.
“Lalu?” tanyaku penasaran.
Si ibu tersenyum dalam diam. Aku tidak mau memaksanya. Tugasku kali tak hanya meliput kisah ini tapi juga mengundang simpati banyak orang untuk turut membantu Marla dan Rangga. Bocah itu akhirnya ditangani dokter spesialis bedah Saraf Nasrullah, SpBS. Dia adalah dokter yang kerap aku wawancarai untuk rubrik Kesehatan di mediaku. Aku cukup khawatir mendengar analisanya. “Kenapa kamu baru bawa sekarang, Dian? Ini sudah terlambat. Cairan di Rangga sudah diambang batas. Kami operasi pun akan berefek pada otaknya. Kondisinya saat ini mengkhawatirkan,”ujar Dokter Nasrullah menatapku di depan kamar perawatan Rangga. Aku membisu.
Berkat tulisanku memang banyak simpati yang datang. Termasuk Gazali, si legislator yang dulu menolak membantu Rangga. Toh, apa gunanya jika terlambat menolong. Dua hari setelah Rangga dioperasi, aku harus menguatkan diri menulis tentang kepergian Rangga selamanya. Kemana perginya malaikat penyelamat? Apa harus menunggu publikasi baru membantu sesama?
Selamat Jalan Rangga…