Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah tiga tahun lamanya. Kartinem ingin melepas rindu dengan keluarganya. Si mbok, bapak dan suaminya. Rindu itu semakin menggebu ketika majikannya menyerahkan selembar tiket pesawat untuk kepulangannya ke Indonesia. Karena masa kerjanya sudah habis.
Dulu, sudah lama sekali. Kartinem mengingat masa kecil nya. Menelusuri benteng-benteng sawah yang penuh dengan lumpur. Dan di sanalah ia bertemu dengan sang pujaan hati. Darman. Darman nama lelaki yang mencuri hatinya itu.
Masa-masa indah mereka lalui bersama hingga ke jenjang pernikahan. Kartinem sangat mencintai Darman. Begitu pula Darman. Tak ingin kehilangan Kartinem. Namun baru beberapa bulan mereka menikah, Darman di PHK dari sebuah perusahaan swasta. Masalah krisis moneter membuat beberapa perusahaan gulung tikar. Hal itu membuat Kartinem shock. Dan termenung beberapa hari. Terlebih Darman yang sangat putus asa. Namun akhirnya Kartinem menerima tawaran menjadi TKI di Arab Saudi.
Kartinem memperhatikan tiket pesawat itu dengan berbinar. Nggak terasa sudah tiga tahun ia menjadi TKI. Kartinem berharap uang yang ia kirimkan dapat mencukupi kehidupan kang Darman di desa, dan sebagian di tabung untuk membuat rumah di kampungnya.
“Aku merindukan mu, Kang.” Desah Kartinem ketika itu.
Sore pesawat mendarat di bandara. Magrib Kartinem tiba di rumah si mbok dan bapak nya. Setelah menyapa bapak dan si mbok, Kartinem pun menanyakan keberadaan Darman.
“Mbok, di mana kang Darman?” tanya Kartinem lagi. Namun si mbok tetap diam dan tertunduk. Mata Kartinem berali pada lelaki tua di depannya.
“Pak, kang Darman di mana?”
Lalaki itu juga tidak menjawab. Hal itu membuat Inem penasaran.
“Kok si mbok diem aja? Kang Darman dimana, mbok? ”
“Sudahlah, Nduk. Nggak usah ribut-ribut.”
Kartinem mengerutkan keningnya. “Memangnya ada apa, mbok? Kenapa?” Kartinem penasaran. Si mbok masih membisu. Wajahnya yang keriput berusaha memendam semua kelakuan Darman. Namun setelah didesak Kartinem, si mbok baru mau bercerita.
“Suamimu kawin lagi, Nem.” Tutur si mbok ragu-ragu. Kartinem terbelalak kaget. Tubuhnya bagaikan tersambar petir yang sangat dahsyat. Hatinya bagaikan tercabik-cabik binatang buas.
“Apa? Kang Darman kawin lagi?” Pekiknya tertahan. Tidak percaya dengan apa yang dikatakan si mbok barusan.
“Itu nggak mungkin, mbok. Kang Darman masih suamiku!” Kartinem kelihatan nggak terima. “ Itu nggak mungkin, mbok. Aku nggak rela!” Tangisnya kemudian.
“Sudahlah, Nduk. Nggak usah ditangisi.”
“Inem ndak terima, mbok. Ndak terima!” Kartinem tersedu. Kemudian berjalan gontai masuk ke kamarnya. Memperhatikan foto-foto pernikahan mereka. Lalu menatapi wajah Darman, suaminya. Dengan cepat ia meraih bingkai foto-foto itu dan mencampakkannya di lantai hingga berserakan.
“Kamu bajingan, kang!” Kartinem terduduk lemas di tempat tidur.
Seminggu kemudian Kartinem terlihat terpaku. Sebuah dinding dengan terali-terali besi memelototi dirinya. Terali-terali itu bagaikan tembok besar yang menghadangnya. Meneriakinya dengan hujatan yang sangat pedih.
“Pembunuh!! Pembunuh!!”