Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Layar ponselku berkedip tampilkan pesan singkat yang dikirim oleh ibuku. Pesan yang isinya sebuah perintah, padahal ibuku tahu bahwa aku sedang sibuk bekerja.
'Teh, beliin takjil ya! kue lumpur tiga!’
Karena malas mengetik pesan, aku menjawab perintah ibu dengan menelepon langsung.
“Assalammualaikum. Bu, Teteh masih kerja. Sibuk banget. Ga mungkin bisa beliin takjil untuk buka puasa di rumahlah.” Rentetku saat telepon tersambung.
“Waalaikumsalam. Teh, kepala ibu pusing. Vertigonya kambuh, ibu barusan jatuh ngejedak. Ibu ga bisa berdiri. Tolong, Teh. Ibu ga bisa liat apa-apa, gelap.”
Sambungan telepon terputus. Meskipun berulang kali kuhubungi, namun telepon tidak pernah tersambung kembali. Suara ibuku yang parau dan kesakitan, serta napasnya yang tersengal, membekas di ingatanku, membuat otakku panik. Kuhubungi bapak dan adik, tepat seperti perkataan ibu, tidak satupun dari mereka mengangkat telepon.
Tidak ada cara lain, aku harus pulang sekarang juga untuk menolong ibuku. Aku bergegas menelepon pimpinan redaksi untuk izin pulang dan meminta rekan penyiar lain untuk menggantikanku membawakan siaran berita malam. Setelahnya aku menuju motor bebek berwarna biru milikku.
“Vira, Saya nebeng pulang dong!” Mbak Nunu, juru rias berusia lima belas tahun di atasku yang turut bertugas dalam liputan tiba-tiba meletakkan tasnya di atas jok motorku.
“Naik!” seruku. Motor kustarter, helm kupakai. Kulirik jam tangan, butuh waktu empat puluh lima menit menempuh jarak dua puluh empat kilometer perjalanan dari Kota Serang menuju Kota Cilegon, rumahku, dengan kecepatan delapan puluh km/jam.
Tanpa aba-aba motorku melaju kencang. Kecepatan kunaikkan menjadi seratus km/jam. Motorku melesat, berbelok ke kanan kiri begitu tajam, dengkulku hampir menyentuh aspal. Untunglah keadaan motorku seimbang, aku berhasil menegakkan body motorku kembali.
“Masya Allah, tobaaattt. Tobat Vir! saya belum kawin lagi! anak saya masih pengen sekolah! tobaaaat!” Mbak Nunu hiteris memegang baju di kedua sisi pinggangku.
"Mbak... Tenang...!” kecepatanku konstan, aku terus melaju kencang menyusul truk gandeng di hadapanku. Dari sisi berlawanan sebuah bus melaju dengan cepat. Akupun tegang sebentar, melihat sisa jalan di bagian tengah tempat motorku melaju yang cukup sempit, tapi motor kami sudah tidak dapat mundur kembali. Kutekan gas motor, kami berdua sama-sama menahan napas.
Kami berhasil keluar dari celah sempit, masih dengan kecepatan tak tertahankan.
“Vir, lampu merah! razia, razia polisi,Vir!” sial, aku tidak punya sim.
“Gimana Vir, kabur?" tanyanya. Darahku bergolak antara takut dan tegang. Langsung saja kubalikkan haluan motorku, berbelok menuju jalan tikus.
“Mbak pernah lewat sini?”
“Belum.”
Kami melintasi satu demi satu gang sempit, terus melaju sampai kembali ke jalan raya.
“Mbak Nunu ikut ke rumahku dulu ya. Takut ibuku kenapa-kenapa.”
“Tapi sudah mau buka puasa, Vir!”
“Ga apa-apa, nanti buka puasa di rumahku aja!” ucapku dengan pandangan lurus ke depan.
“Yaudah!”
Motor semakin kukebut. Laju sampai tembus ke Cilegon.
Setibanya di rumah, aku berlari membuka gerbang. Mataku terbelalak, tampak ibuku sedang menyiram tanaman sambil bersenandung riang dengan kondisi sehat walafiat.
“Eh uda nyampe. Mana kue lumpurnya?” tanya ibuku.
“Bukannya ibu sekarat?” tanyaku melongo.
“Kalau ga gitu, Teteh ga bakal pulang buat buka puasa!”
Aku pandangi jam di tanganku. Perjalanan Serang-Cilegon kami tempuh hanya dalam waktu lima belas menit.