Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Dunia dalam Tas
16
Suka
7,529
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di dalam ransel yang sudah dimilikinya sejak lama, Dini menyimpan segalanya. Dia menyimpan batu kali, sungai kecil di kampung halaman, air terjun bersuara sejuk di belakang rumahnya, lampu kota, malam gerimis, kenangan, beberapa debur ombak pada musim yang lalu, hujan yang malu-malu menyapa cuaca, dan dunia. 

“Persis kantong Doraemon. Tidak berat?” 

Dini mengangkat tas itu, lalu menyerahkannya kepada suaminya. “Mau angkat?”

Suaminya mengambilnya. Dia kaget karena nyaris tidak memerlukan tenaga untuk mengembannya. Enteng sekali.

Pada suatu petang, di sebuah kota yang dia kunjungi setelah bekerja sepanjang hari, Dini memandang Matahari yang begitu indah. Cahaya merah kirmizi membasuh langit dan membuat awan-awan merona bagai pipi gadis kecil. Dia mencoba meniru Sukab. Konon, Sukab berhasil memotong senja untuk pacarnya.

Dini mencari gunting di tas, lalu memandang langit. Cekres, cekres, cekres. Pelan-pelan dia gunting Matahari mengikuti sisi melingkar. Tidak berhasil. Karena tangannya gemetar, Dini hanya mampu mengambil sebagian kecil Matahari, sangat kecil untuk disadari siapa pun. Namun, tidak masalah. Masih ada lain waktu. Dia membuka tas, lalu memasukkannya. Ada ruang lega di samping kuil Buddha yang biasa didatanginya saat masih kecil.

Di dalam ransel, senja yang tidak pernah terbenam membuat penduduk kota kepanasan. Memang indah, musisi indie pasti suka, apalagi jika dinikmati dengan secangkir kopi, gitar, dan getir. Namun, gerahnya lama-lama tidak tertahankan. Setelah bertahun-tahun hidup tanpa cahaya, saat Matahari datang untuk memisahkan pagi dan malam, sebenarnya penduduk kota menyambutnya dengan gembira. Tapi bukan begini caranya. Mereka ingin Matahari yang dapat tenggelam untuk terbit lagi dua belas jam kemudian, bukan yang selalu terpacak di langit tanpa bergerak sepanjang waktu.

Karena terus-menerus tersengat panas, sungai mulai kering, air terjun habis, ombak menjadi badai, pantai kehilangan pesisir, angin kerontang, kebakaran di mana-mana, banjir di sana-sini, tanah sekarat, kenangan berkarat. Karena tak kuat lagi, para penduduk bahu membahu membangun menara untuk mencapai matahari dan berharap bisa menyiramnya dengan air. Mereka mengumpulkan batu-batu, lalu menumpuknya satu-satu. Namun, saat mereka nyaris berhasil mencapai Matahari dengan ember air di tangan, langit terbelah. Sebuah tangan menyibaknya. “Tuhan! Itu tuhan!” Mereka berteriak, lalu jatuh berhamburan. Beberapa saat kemudian, di sebelah Matahari, ada Matahari lain, tapi kini tiga miliar kali lebih besar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Terima kasih, Kak Wahyu dan Kak Mudyo.
Berasa teduh ya...
Singkat padat
Rekomendasi dari Drama
Novel
Harta Tahta Renata
Ratih widiastuty
Novel
MUSKIL
Seto Yuma
Flash
PULANG
Ragiel JP
Flash
Dunia dalam Tas
Rafael Yanuar
Flash
Bronze
VESPA UNTUK AYAH
Emma Kulzum
Novel
Bronze
ARKANA
Artina Jumnila
Novel
GALAKSHIT!
memoraters
Flash
Pertengkaran (unfaedah) Politik
mutaya s
Flash
NONA SEGERALAH MENIKAH
DENI WIJAYA
Novel
The Scar
Arianti Pratiwi Mustar
Novel
TOXIC
Rain Emmeline
Flash
Sedikit Saja
WN Nirwan
Novel
Bronze
Diary Seorang Gadis Tunarungu
winda aprillia
Novel
Gold
Big Magic
Bentang Pustaka
Novel
Dua Sisi
HumairaLiska
Rekomendasi
Flash
Dunia dalam Tas
Rafael Yanuar
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Kunang-Kunang di Jendela
Rafael Yanuar
Cerpen
Malam Dingin di Cigigir
Rafael Yanuar
Novel
Perjalanan Semusim
Rafael Yanuar
Novel
Sampai Jumpa Besok
Rafael Yanuar
Flash
Rafa Pergi ke Surga
Rafael Yanuar
Cerpen
Tujuh Belasan di Desa Dukun
Rafael Yanuar
Novel
Jalan Setapak Menuju Rumah
Rafael Yanuar
Cerpen
Hujan yang Arif Tahu Kapan Harus Turun
Rafael Yanuar
Flash
Di Perpustakaan
Rafael Yanuar
Flash
Setelah Gelap Datang
Rafael Yanuar
Flash
Aku Tak Ingin Mati Seperti Ini
Rafael Yanuar
Flash
Merayakan Tahun Baru
Rafael Yanuar
Flash
Clair de Lune
Rafael Yanuar