Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Dunia dalam Tas
16
Suka
7,609
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di dalam ransel yang sudah dimilikinya sejak lama, Dini menyimpan segalanya. Dia menyimpan batu kali, sungai kecil di kampung halaman, air terjun bersuara sejuk di belakang rumahnya, lampu kota, malam gerimis, kenangan, beberapa debur ombak pada musim yang lalu, hujan yang malu-malu menyapa cuaca, dan dunia. 

“Persis kantong Doraemon. Tidak berat?” 

Dini mengangkat tas itu, lalu menyerahkannya kepada suaminya. “Mau angkat?”

Suaminya mengambilnya. Dia kaget karena nyaris tidak memerlukan tenaga untuk mengembannya. Enteng sekali.

Pada suatu petang, di sebuah kota yang dia kunjungi setelah bekerja sepanjang hari, Dini memandang Matahari yang begitu indah. Cahaya merah kirmizi membasuh langit dan membuat awan-awan merona bagai pipi gadis kecil. Dia mencoba meniru Sukab. Konon, Sukab berhasil memotong senja untuk pacarnya.

Dini mencari gunting di tas, lalu memandang langit. Cekres, cekres, cekres. Pelan-pelan dia gunting Matahari mengikuti sisi melingkar. Tidak berhasil. Karena tangannya gemetar, Dini hanya mampu mengambil sebagian kecil Matahari, sangat kecil untuk disadari siapa pun. Namun, tidak masalah. Masih ada lain waktu. Dia membuka tas, lalu memasukkannya. Ada ruang lega di samping kuil Buddha yang biasa didatanginya saat masih kecil.

Di dalam ransel, senja yang tidak pernah terbenam membuat penduduk kota kepanasan. Memang indah, musisi indie pasti suka, apalagi jika dinikmati dengan secangkir kopi, gitar, dan getir. Namun, gerahnya lama-lama tidak tertahankan. Setelah bertahun-tahun hidup tanpa cahaya, saat Matahari datang untuk memisahkan pagi dan malam, sebenarnya penduduk kota menyambutnya dengan gembira. Tapi bukan begini caranya. Mereka ingin Matahari yang dapat tenggelam untuk terbit lagi dua belas jam kemudian, bukan yang selalu terpacak di langit tanpa bergerak sepanjang waktu.

Karena terus-menerus tersengat panas, sungai mulai kering, air terjun habis, ombak menjadi badai, pantai kehilangan pesisir, angin kerontang, kebakaran di mana-mana, banjir di sana-sini, tanah sekarat, kenangan berkarat. Karena tak kuat lagi, para penduduk bahu membahu membangun menara untuk mencapai matahari dan berharap bisa menyiramnya dengan air. Mereka mengumpulkan batu-batu, lalu menumpuknya satu-satu. Namun, saat mereka nyaris berhasil mencapai Matahari dengan ember air di tangan, langit terbelah. Sebuah tangan menyibaknya. “Tuhan! Itu tuhan!” Mereka berteriak, lalu jatuh berhamburan. Beberapa saat kemudian, di sebelah Matahari, ada Matahari lain, tapi kini tiga miliar kali lebih besar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Terima kasih, Kak Wahyu dan Kak Mudyo.
Berasa teduh ya...
Singkat padat
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
UNCONDITIONAL LOVE
Jaemin Noona
Novel
Bronze
Moodboster(Dipindahkan di aplikasi webnovel)
Laila nur ainun
Novel
Ke Anyelir
Maryam Badrul Munir
Flash
Dunia dalam Tas
Rafael Yanuar
Novel
Bronze
DAUN JATI BERBISIK
DENI WIJAYA
Novel
Bronze
KUCOBA MELAWAN TAKDIR
Senja
Novel
BANDARA CHANGI TUNGGU AKU 2
Iis Siti Napisah
Flash
I'm Fine
iam_light.blue
Novel
BICARA DENGAN TUHAN
Febriana listiyanti utami
Novel
Secercah Asa di Desa Lada
Steffy Hans
Novel
Bronze
Untuk Pertiwi
Amriyana
Komik
THEY ARE A GIFT
Irul irul
Novel
Lili
Ria Rahmawati
Flash
Hadiah untuk Pengkhianat
Nurai Husnayah
Flash
Bronze
Perahu Tanpa Dayung
Herman Sim
Rekomendasi
Flash
Dunia dalam Tas
Rafael Yanuar
Flash
Manusia Pertama
Rafael Yanuar
Cerpen
Menulis Haiku
Rafael Yanuar
Cerpen
Racau
Rafael Yanuar
Novel
Kesempatan Kedua
Rafael Yanuar
Flash
Bronze
Gadis Kecil Berkaleng Kecil
Rafael Yanuar
Cerpen
Rehat Sejenak
Rafael Yanuar
Flash
Lukisan Rendra
Rafael Yanuar
Flash
Layang-Layang
Rafael Yanuar
Novel
Sampai Jumpa Besok
Rafael Yanuar
Flash
Aku Tak Ingin Mati Seperti Ini
Rafael Yanuar
Flash
Setelah Gelap Datang
Rafael Yanuar
Flash
Clair de Lune
Rafael Yanuar
Flash
Dompet Natal
Rafael Yanuar
Cerpen
Arwah Kunang-Kunang
Rafael Yanuar