Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Mau jadi apa kamu ke depannya? Kalau enggak jadi dokter, pekerjaan macam apa yang mau dikerjakan? Cuma dokter yang masa depannya terjamin, selain itu susah!" teriak Pak Broto menghakimi putrinya.
"Tapi Nesya enggak mampu, Yah buat jadi dokter. Nesya enggak sepandai yang Ayah kira," bela gadis itu menangis. Beban dalam hati karena gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri harus ditambah dengan tekanan yang terus diajukan oleh Pak Broto. Hidupnya sampai terasa seperti terhimpit, sesak, bahkan sulit menemukan tempat hanya untuk sekedar menghirup napas segar.
"Kalau enggak jadi dokter, enggak usah kuliah!" Keputusan maut yang selama ini selalu ditakutinya. Sebagai putri tunggal, calon generasi penerus nama keluarga, hal ini bukanlah kemauan Nesya. Dia memiliki mimpi lain selain memenuhi keinginan orang tuamya untuk menjadi seorang dokter, gadis itu juga ingin menjadi seorang pendidik. Baginya, pekerjaan paling mulia adalah memberi pencerahan melalui ilmu-ilmu agar tidak menyesatkan orang-orang yang tidak tahu.
"Terserah Ayah. Nesya punya mimpi sendiri, Yah," ucapnya disela tangis yang mewakili kekesalan hatinya. Bu Darmi hanya bisa diam menyaksikan Pak Broto menghakimi putri tunggal mereka, karena seluruh keluarga tahu bagaimana tabit Ayah Nesyah.
"Bu, putrimu itu dikasih tahu gitu lo. Apa susahnya jadi dokter, Ayah yakin dia bisa kok. Anak Ayah itu pinter," ngototnya masih ingin dimengerti.
"Yah, kemampuan putri kita mungkin memang tinggi menurut Ayah. Tapi coba untuk melihat kenyataan, Yah ... Hasil tes menunjukkan Nesya gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri karena hal itu. Apa sekarang yang harus putrimu lakukan? Apa kamu tega kalau dia tidak kuliah? Sedangkan pendanaan untuk kuliah kedokteran di sekolah swasta itu sangat mahal. Ayah kuat kerja lebih keras?" nasihat Bu Darmi begitu diberi luang untuk berbicara.
"Kamu itu sama aja dengan putrimu. Mikirnya sempit!" Pak Broto meninggalkan istri dan putrinya di ruang tamu.
"Yang sabar, Nduk. Mungkin Ayahmu khilaf." Nesya hanya mengangguk berusaha mengerti.
****
Semalam penuh Nesya tak bisa memejamkan mata, bahkan hanya untuk sesaat. Tepat ketika jam dinding menunjuk ke angkah tiga, gadis itu bangkit untuk salat tahajud.
"Ya Allah, beri hamba petunjuk-Mu. Hamba hanya manusia bodoh Ya Allah. Ke manakah kaki ini harus melangkah? Tak ada tempat bersandar paling kokoh kecuali engkau Ya Allah. Beri hamba petunjuk-Mu. Aamiin." Nesya menutup malam dengan doa sapu jagat dan rebahan sambil menunggu waktu subuh.
Tiba-tiba sebuah mimpi tentang masa depan seakan menuntun gadis itu ke mana dia harus melangkah. Keputusan apa yang harus diambil untuk masa depannya. Semua terasa begitu nyata dan menenangkan hati.
Begitu mata terbuka, gadis itu kembali sadar dan paham keputusan apa yang harus dia ambil. Hidup sepenuhnya kuasa Allah. Tak ada satu pun hamba yang bisa mendahului takdir. Biarlah orang lain, mungkin termasuk keluarga sendiri menghina, asal selaku manusia selalu percaya akan semua hal baik yang akan Allah beri pada setiap hamba-Nya.
Mimpi sebagian keluarga memang menjadi dokter, selain pekerjaan yang terpampang nyata setelah kuliah, gaji yang menjanjikan pun kehormatan keluarga seakan terangkat. Padahal, semua pekerjaan itu baik, tinggal kembali pada orang yang mengemban pekerjaan tersebut, mampu bersikap amanah ataukah justru hianat pada apa yang dikerjaknnya. Bumi tidak berhenti bergerah hanya karena gagal.