Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perempuan itu, entah dari mana ia datang. Dan tidak ada yang tahu kemana ia pergi. Ia hadir ketika senja terkalahkan oleh sang malam. Ketika matahari terlahap habis di ufuk barat. Ketika lembayung berwarna merah saga. Namun ia tidak ada di acara-acara pesta. Atau di acara hajatan dan perwiritan. Tidak ada yang tahu ia tinggal dimana. Tidak ada yang tahu siapa dia, asal-usulnya. Dan tidak ada yang mau tahu cerita tentang dia. Dia bagaikan seekor burung gagak yang sangat menakutkan.
Ia muncul dari balik balik malam yang sangat dingin. Ketika malam telah diselubungi selimut hitam tebal. Bermandi cahaya rembulan yang redup dan suara binatang malam yang terdengar aneh.
Perempuan itu bergaun merah jambu. Memakai lipstick merah muda dan memakai parfum kembang seribu. Memakai kalung putih bertaburkan batu minikan. Rambutnya tergerai panjang. Ia bagaikan bidadari turun dari khayangan.
Malam menggayut. Mengantarkan kembali angin dingin yang beku. Membuat aku meringkuk dalam jaket parasutku. Malam benar-benar membuatku kalud. Aku bertemu dengan perempuan itu saat pikiranku tengah digeluti sebuah masalah besar dalam hidupku. Ia hadir begitu saja di depanku. Dengan menebar senyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang putih bersih. Memamerkan belahan dadanya yang sintal dan kemolekan tubuhnya. Bulu matanya lentik dengan bola mata bersinar.
Perempuan itu mendekatiku. Aku memang terpana melihatnya. Ia memang sosok perempuan yang sangat sempurna. Aku menatapnya dengan tajam.
“Jangan menatapku seperti itu.” katanya lembut. Aku mengerjab, tersadar dari lamunanku.
“Siapa kau?” tanyaku penasaran. Perempuan itu tersenyum seraya duduk di sampingku.
“Aku Kinanti. Aku lah yang telah lama kau nanti.” ucapnya lembut, mencoba merayuku. Parfum yang menyeruak tercium di hidungku. Aku betul-betul tidak dapat membayangkan parfum apa yang telah dipakainya. Wangi dan teramat wangi. Aku mengerutkan dahiku. Sepertinya ia bisa membaca pikiranku. Saat ini aku memang sangat merindukan seorang gadis duduk di sampingku. Dan kini usiaku hampir berkepala empat. Tanpa ada embel-embel yang pasti. Istri dan anak.
“Kau kelihatan kalud. Apa yang kau pikirkan?”
“Hidup. Aku merasakan kehidupanku telah sirnah.” kataku.
“Kau tidak boleh berucap begitu. Hidup adalah suatu anugrah yang indah.”
Perempuan itu membelai pundakku. Sesaat aku merasakan suasana sejuk yang menyeruak di sekujur tubuhku. Tapi aku tak mau terlarut dalam hal-hal aneh seperti itu. Bukankah itu suatu hal yang wajar, seorang lelaki menggeliat bila disentuh perempuan cantik seperti dia.
Malam semakin pekat. Hawa dingin seakan menguliti tubuhku. Menghantarkan kembali wangi parfum yang menyebar di sekitarku.
Itulah awal semua pertemuanku dengan perempuan itu. Dia muncul dari balik malam yang sangat pekat. Aku menghabiskan sisa malam dengan sebuah kepuasan banthin yang selama ini tidak kudapatkan.
Pagi datang seperti sepercik sesal yang terus menggulung. Senyap. Sesenyap petang-petangku yang datang kemudian. Perempuan itu telah pergi. Ia tak pernah datang lagi. Mungkinkah ia meninggalkan aku karena aku seorang pemabuk? Atau ada laki-laki lain yang menjadi incarannya.
Mataku terkerjab ketika kurasakan tetes embun pagi membasahi wajahku. Aku terkejut bukan main. Kali ini aku dibawanya ke tempat pemakaman. Aku tertidur di perkuburan antah berantah. Dan aku masih tertidur pada sebuah nisan bertuliskan nama seorang perempuan.
Kinanti.
Seluruh keberanianku pun hilang. Bersama angin pagi dan tanah kuburan tua.