Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sabtu malam.
Muti menempati meja No.5 di sebuah kafe—sendirian, karena dia tanpa sengaja tiba setengah jam lebih awal. Lima menit kemudian, terdengar suara pintu kafe terbuka dan seseorang menghampiri mejanya.
Adam.
Muti bisa dengar suara detak jantungnya sendiri saat ia melihat Adam tersenyum ke arahnya. Dia tidak berubah; hanya terlihat lebih... dewasa.
"Hai," sapanya, dan duduk di hadapan Muti. "Kok kamu yang sampai duluan di sini? Padahal aku udah dateng lebih awal, lho. Bahkan... aku pikir kamu enggak bakalan dateng."
Muti tersenyum tipis. "Tenyata tadi enggak macet, makanya cepet sampainya."
Adam tersenyum. Suara detak jantung Muti semakin kencang dan gendang telinganya seperti akan meledak.
"Gimana kabar kamu?"
"Baik," tipikal jawaban diplomatis—boring. "Kamu tau dari mana alamat e-mail personal aku?"
"Dari... Rian," jawab Adam, mengamati ekspresi Muti. "Please, jangan marah sama dia, aku yang maksa. Tadinya aku minta nomor HP kamu, tapi dia enggak ngasih dan kasih alamat e-mail kamu."
"Pantesan aja Rian belakangan ini jadi baik banget. Ternyata gara-gara ini, toh."
"Please, jangan marah sama Rian."
Muti hanya terdiam. Dan Adam berusaha untuk mencairkan suasana lagi.
"Aku masih enggak nyangka kita bisa ketemu lagi," ucapnya. "Setelah berapa lama, ya? Lima? Atau enam tahun?"
"Tujuh tahun, Adam," balas Muti dengan nada datar. "Terakhir kali kita ketemu itu udah tujuh tahun yang lalu." Dan itu adalah hari pas kita putus, Muti tidak bisa melanjutkan kalimatnya langsung di hadapan Adam.
Suasana pun menjadi semakin canggung.
***
Waktu kelas 11 SMA, Muti dan Adam mulai berpacaran dan Rian, sahabat mereka, yang jadi mak comblangnya. Tidak sulit bagi Muti untuk menyukai Adam yang baik dan pintar itu. Yang sulit adalah memercayai bahwa Adam juga ternyata suka kepadanya.
Hubungan keduanya baik-baik saja hingga akhirnya tibalah badai di semester terakhir mereka kuliah. Ayahnya Muti meninggal dan Adam dapat beasiswa S2 ke Jepang. Karena kondisinya kacau, maka Muti pun memutuskan Adam secara sepihak, sebulan sebelum dia berangkat ke Jepang.
Juga menutup semua kontak di antara mereka.
Dan itu berlangsung selama 7 tahun, hingga akhirnya seminggu yang lalu, Adam mengiriminya e-mail dan meminta bertemu.
***
"Jadi awkward, ya," Muti berkomentar.
Adam menggaruk kepalanya. "M-maaf, ya."
Muti menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku yang minta maaf," seketika air mata sudah di pelupuk matanya. "Aku... maaf. Untuk semuanya."
Adam menggelengkan kepalanya, tersenyum. "Kenapa kamu minta maaf, Mut? Aku yang harusnya minta maaf. Aku baru berani untuk ketemu dan minta maaf secara langsung sama kamu setelah tujuh tahun ini. Maafin aku, ya."
Air mata Muti pun menetes.
"Bertahun-tahun aku enggak bisa ngelupain kamu, Mut. Aku enggak bisa move on."
Dada Muti semakin bergemuruh.
"Maafin aku ya, Muti."
"Aku minta maaf juga, Dam."
Adam tersenyum. Muti juga. Lirih, namun agak lega.
***
Muti masih duduk di meja No.5—sendirian, matanya sembab—dan menyeruput kopinya yang kini sudah dingin.
Dia memandangi kursi kosong di hadapannya, kemudian amplop berwarna putih di atas meja.
Muti menertawakan dirinya dalam hati. Dia menggendong tasnya, bangkit, dan meninggalkan meja juga uang tip di atas amplop putih tersebut—undangan pernikahan Adam dengan pacarnya yang bernama Rissa.
Selamat tinggal Adam. Semoga... berbahagia.