Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perutnya kian lama kian membulat. Membesar seperti masuk angin. Tapi ini bukan angin biasa. Sesuatu bergerak-gerak dalam perutnya. Dan karena perutnya yang kian membesar Pariyem mengurung diri di kamar. Entah setan apa yang membuatnya merasa seperti saat ini. Bahkan ia sendiri tidak tahu mengapa perutnya kian membuncit. Dan entah sudah berapa lama sesuatu bergerak-gerak di dalamnya.
Sesekali ia meraba perutnya yang seperti ada tendangan kecil di dalamnya. Ia merasakan tendangan itu sebagai bentuk suatu kehidupan. Kehidupan baru yang bakal menjadi aib di keluarganya.
Hhh…. Pariyem mendesah pelan. Hatinya berkecamuk bingung dan gelisah.
‘Aku hamil.’ Desisnya pelan. Matanya merebak kian basah. Bukan bahagia yang dirasakan Pariyem. Namun kepedihan yang berkali-kali menggerogoti batinnya.
‘Kau hamil, Yem. Siapa ayah si jabang bayi itu!’
Mungkin itulah kata-kata yang dilontarkan para tetangga. Bukan saja tetangga, tapi juga ibunya.
Pariyem masih ingat kejadian malam itu. Malam yang sangat durjanah! Murkah! Laki-laki itu melucuti pakaian Pariyem dan memaksanya untuk melayani nafsu setannya. Melampiaskan hasrat yang sangat bejat. Ingin ia menjerit, namun hanya desah angin yang terdengar. Terujam dan menusuk hingga ke liang hati. Suara binatang malam bersahutan silih berganti. Suara itu kian nyaring dan menjadi saksi bisu.
Grebaaakkk!!!
Pintu di dobrak dari luar. Mata tajam ayahnya memandang Pariyem dengan seribu emosi. Pariyem terkejut dan tersentak. Diikuti ibunya yang berusaha mencegah ayahnya agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
“Sudahlah, Yah. Jangan ribut lagi!” Ujar ibu menghalangi ayah yang hampir kalab.
“Aku malu, Bu! Malu! Mau ditaruh dimana muka ku ini! Telingaku sakit!”
“Tapi kita kan bisa bicara baik-baik.”
Pariyem mendongak menatap mata merah ayahnya. Seakan ingin menutut ketegasan sang ayah.
“Kau pasti sudah bersetubuh dengan laki-laki itu! Iya kan!” Bentak ayahnya keras. Pariyem tertunduk sambil terisak.
“Jawab, Yem!”
Pariyem tidak menjawab. Ia hanya menangis sambil mengelus perutnya. Ayah terlihat semakin pitam. Ia hendak memukul Pariyem. Tapi ibu mendadak saja menghalanginya.
“Yah! Jangan seperti itu dengan anak. Ibu tidak mau melihat ayah bersikap kasar.”
Ayah mendengus. Nafasnya tidak teratur.
“Lebih baik kau gugurkan saja buntingmu!” Kata ayah dengan nada sinis. Pariyem terbelalak menatap wajah ayah.
“Aku tidak akan menggugurkan bayiku, Yah!”
“Apa!!! Kau pikir kau ini siapa? Bayi itu jelas anak haram! Aku tidak mau ada bayi haram di rumahku ini!”
Ayah keluar dengan emosi yang terus membara. Sedangkan ibu menghampiri Pariyem yang masih menangis. Kemudian membujuknya untuk bicara. Siapa ayah bayi itu. Memang beberapa bulan ini Pariyem pacaran dengan anak tetangga. Suryo, namanya. Pemuda yang bekerja di salah satu pabrik di desa kecamatannya. Setahun yang lalu mereka resmi pacaran. Tapi ayah Pariyem tidak setuju dengan Suryo yang hanya seorang buruh pabrik. Ayah terus berusaha untuk memisahkan Pariyem dengan Suryo.
Pariyem menggigit bibirnya. Pariyem menatap ibu dengan lekat. Namun tak ada yang bisa dikatakannya selain menangis sejadi-jadinya. Semua orang tahu kalau Pariyem pacaran dengan Suryo. Pariyem tertunduk kemudian menceritakan yang sesungguhnya.
“Maafkan Pariyem, Bu.” Isak Pariyem sambil bersimpuh di kaki ibu. Ibu tidak bergeming. Ia hanya menatap hampa dedauan yang berguguran di halaman. Laki-laki yang menidurinya di malam itu adalah ayah!