Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Di sini aman tidak, sayang?"
"Aman."
"Tidak ada CCTV, kan?"
"Tenang! CCTV kita cuma Tuhan."
Laki-laki itu tertawa, hampir terbahak, tapi segera terkatup. Perempuan yang duduk tepat di sampingnya itu yang mengatup bibirnya dengan telunjuknya.
"Kalau ketawamu sekeras itu, CCTV kita nanti jadi se-RT."
"Iya, sayang, maaf."
Senyum perempuan itu mengembang. Dia pun mendekatkan tubuhnya pada laki-laki itu hingga jarak mereka yang semula beberapa senti kini tak lagi berjarak, bisa dibilang kulit mereka sungguh-sungguh bersentuhan.
"Iya, sayang, tidak apa-apa. Eh, kamu dapat dari mana tempat ini?"
Perempuan itu melihat sekeliling. Tempat yang sepi, kelam. Daun berserakan di tanah, dan daun-daun lain yang menanti angin menggugurkan. Pada latar, sebuah dinding dengan coret sana-sini. Corat-coret tak jelas. Abstrak. Dan yang paling kentara ialah sebuah tulisan tangan di tengah-tengah corat-coret itu, Parakang 01, begitulah yang tertulis.
"Insting," kata laki-laki itu, tapi perempuan itu malah bisu. "Ah, kamu pasti mikir aku lagi main-main. Serius. Insting yang membawa kita ke sini."
"Baiklah." Perempuan itu mencoba percaya.
Dan setelahnya, keduanya malah diam, seolah pikiran mereka sedang berkelana di suatu tempat atau di suatu masa yang lain. Sampai kemudian perempuan itu kembali berucap. "Apa kita harus begini terus? Sembunyi."
"Mau bagaimana lagi?! Kita hidup dan bertumbuh di tempat di mana tangan dan mulut seseorang akan selalu gatal bila tidak mengurus hidup orang lain, maka bersembunyi menjadi jalan pintas."
Perempuan itu kembali diam. Entah dia sedang menikmati setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu, atau dia memang sedang tidak ingin menanggapi.
"Terus," maka laki-laki itu melanjutkan, "orang tuaku tak pernah setuju dengan hubungan kita. Aku ingin menikahimu, tentu saja. Sebab setelah menikah, aku hanya perlu khawatir dengan manusia, bukan dengan Tuhan juga. Tapi aku bisa apa?!" laki-laki itu terdiam. Dia menghembuskan napas yang dalam. Dia seperti menahan dirinya untuk tidak menangis. "Mereka tak akan pernah mengerti kalau cinta itu lahir secara suci kepada siapapun cinta itu bertaut."
Laki-laki itu masih menahan dirinya untuk tidak menangis, tapi tidak dengan perempuan itu. Air matanya sudah membanjir pada pipinya yang merah.
"Aku minta maaf, sayang, andai aku tidak...."
Giliran laki-laki itu yang mengatup bibir perempuan itu dengan telunjuknya. "Tidak, sayang, ini bukan salahmu. Kamu tak pernah bisa memilih untuk lahir dalam rahim siapa," sambil berkata, laki-laki itu menyeka air mata perempuan itu, "kamu juga tidak bisa memungkiri ketika ibumu yang sakaratul maut harus menurunkannya padamu agar dia kembali dengan tenang."
Laki-laki itu menghela napas sebelum kemudian melanjutkan. "Yang salah itu mereka. Mereka yang tak pernah paham kalau kamu, apapun keadaanmu, masih perempuan yang sama."
Perempuan itu kembali tersenyum. Air matanya telah habis. Dia lalu memberi pelukan yang erat pada laki-laki itu. Sebuah pelukan yang sangat dalam dan mesra. Hingga kemudian, kau tak akan percaya, perempuan itu berubah menjadi makhluk jadi-jadian, berwujud anjing, dengan kaki besar sebelah, seperti parakang, yah perempuan itu parakang. Kamu pasti tidak akan percaya kalau aku menceritakan hal ini padamu. Tapi, aku merekamnya. Merekam semuanya. Dari tempat yang laki-laki dan perempuan itu tak akan tahu. Aku hanya perlu menunggu hingga rekaman itu sampai padamu.
Pinrang, 050421