Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah lima tahun kita berumah tangga. Namun tak sedikit pun aku merasa bahagia hidup bersama mu. Bahligai rumah tangga kita bagaikan selembar tirai yang rapuh dan aku menyulamnya dengan perlahan. Namun sia-sia, tirai itu tetap saja koyak. Apakah tanganku yang terlalu kasar atau sebuah peniti yang tak lagi tajam. Semuanya bagai mimpi buruk.
Lima tahun yang lalu sejak kita berpacaran, ibumu juga tidak suka dengan ku. Bahkan ibumu tidak merestui hubungan kita. Ibu mu mengusir ku dengan tidak berperasaan. Apakah aku ini seekor binatang? Tapi kau justru ngotot ingin hidup denganku. Kau sangat menyanjungku. Kau begitu mencintai aku dengan sepenuh hatimu. Tapi ternyata semua itu palsu. Hanya sebuah ilusi belaka. Setelah kita berumah tangga, kau lebih memikirkan ibu mu ketimbang aku, suamimu. Kau bahkan berpihak pada ibumu. Meski ibu mu memperlakukan aku dengan tidak hormat. Kau malah menudingku. Kau malah membangkangku, memperbudak diriku! ‘Hei, dimana hati dan nuranimu? Aku jengah dengan kehidupan yang ku lalui bersamamu.’
Dan kini kau menghardikku sebagai seorang pembantu. Semua pekerjaan rumah kau serahkan padaku. Mencuci piring, menyapu rumah, mengepel lantai.
“Apa aku pantas melakukan itu?” tanyaku tidak terima. Tapi kau malah menyergahku.
“Tentu saja kau pantas mengerjakan itu, Mas! Apa dengan tidak menyuci piring, ngepel dan menyapu lantai kau akan menjadi kaya!” Kata mu membentakku.
‘Astagfirullah, kau benar-benar kesetanan.
“San, aku ini suamimu. Aku tidak pantas melakukan itu semua. Pamali kau memerintah ku!”
“Alaaa, suami juga harus nurut sama istri!”
“Tapi kau sudah kelewatan, San!” Bentakku seakan emosi. “Kau kelewatan memperlakukan aku seperti babu!”
“Ahkk, apa kau sanggup menggaji seorang pembantu?” Ketus mu.
Kalau soal itu terus terang aku tidak sanggup. Gajiku pas-pasan. Meski aku membanting tulang mengambil lembur, tetap saja tidak cukup. Tapi kenapa kau sombong sekali. Dan kini kau tidak lagi menyuguhkan aku secangkir kopi hangat. Kau malah menuntut cerai padaku.
Sudah lima tahun lamanya kita berumah tangga. Tapi sampai saat ini kita belum mendapatkan titisan sang dewa. Seorang buah hati yang mungil yang menghiasi bahtera rumah tangga kita. Dan lagi-lagi kau menudingku macam-macam.
“Kau yang mandul, Mas! Bukan aku!” Ucapmu lagi-lagi dengan emosi. Ibumu juga telah menudingku. Dan kalian bahkan ingin menyerangku. Aku tidak tahu siapa di antara kita yang mandul. Bahkan ketika aku mengajakmu untuk memeriksakan diri ke dokter, kau malah menolaknya mentah-mentah. Alasanmu memang selalu begitu. Sibuk dan sibuk melulu.
Terus terang aku sudah cukup sabar menghadapimu. Hari ini semoga kau menerima keputusanku.
“Tenanglah, San. Aku sudah mengambil keputusan.“ Kataku sambil menatapmu yang terpaku. Kau memandangku dengan lekat dan tajam. Kemudian tatapan mu beralih pada seseorang yang berada di sampingku.
“Ini semua adalah kehendakmu bukan?” tanyaku lagi. Kau masih terpaku dengan mata memerah.
“Dia adalah pengganti dirimu, San. Hari ini aku menceraikan dirimu.” Ucapku seraya memperkenalkan seorang wanita yang bersamaku. Tapi matamu seakan ingin menguliti tubuhku.
“Mas…!” Pekik mu tertahan.
“Aku sudah menikah dengannya, San. Dan dia sudah mengandung anakku.”
Kau seakan terbelalak menatapku. Ternyata dirimu yang mandul, bukan aku. Kau terpaku dalam kebisuan. Menatap ku dengan penuh penyesalan.
“Tidaaak!!!!” Jeritmu histeris. Kau menangis sejadi-jadinya.