Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cincin itu melingkar di jemari tanganku. Sebuah cincin perkawinan. Cincin pengikat antara aku dan bang Joko. Dia menikahiku disaat usiaku masih muda belia. Dan cincin itu sebagai pinangan dari bang Joko. Meski pernikahan kami dilakukan sangat sederhana namun bukan itu yang menjadi sebuah yang sakral. Aku sangat bahagia sekali bang Joko mau mempersuntingku disaat keadaan ekonomi kami sedang kalang kabut.
Aku memperhatikan cincin itu dengan lekat. Cincin perkawinan bela rotan terbuat dari emas dua puluh empat karat.
“Cincin itu jangan dijual ya, Tik. Cincin itu sangat berharga.” Ujar bang Joko ketika itu. Aku hanya tersenyum tipis. Meski bang Joko tidak menjanjikan ku sebuah rumah mewah, atau perhiasan yang mahal.
Siang itu aku berniat belanja ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Aku sibuk memilih sayur dan ikan. Jari-jariku seakan tidak mau berhenti mengkais tumpukan-tumpukan ikan. Memilih jenis ikan yang bagus dan masih segar. Tapi mendadak saja aku terkejut alang kepalang. Mataku meremang bagaikan mimpi disiang bolong. Aku melihat cincin perkawinan itu tidak ada di jemari manisku. Aku sangat kaget dan berusaha meraba jemariku. Tetap tidak ada. Kemudian aku menepuk-nepuk pipiku, untuk memastikan apakah aku sedang bermimpi atau tidak.
‘Aduuuh,’ ternyata sakit. Dan aku tidak bermimpi.
Aku segera mengkais baskom ikan dan merabanya sampai ke dasar. Cincin itu tetap tidak ada. Aku semakin cemas sambil menggigit bibirku. Mengingat kembali perjalananku dari rumah ke pasar. Dan aku menyelusurinya kembali, tapi aku tidak menemukannya.
Sore itu ku lihat bang Joko sudah pulang. Aku menghampirinya dengan perasaaan takut. Tapi bang Joko malah menatapku dengan senyum yang manis.
“Eh, Tik. Kok melamun? Sini. Abang bawa ikan kesukaanmu.” Kata bang Joko seraya menghampiriku. Aku tersenyum tipis.
“Abang dapat orderan lagi?” tanyaku.
Bang Joko terkekeh. “Hari ini kita pesta besar, Tik.”
Aku mengerutkan dahiku. Memperhatikan belanjaan yang dibeli bang Joko. Beberapa kotak kecil dan plastik hitam. Berisikan sayur dan ikan. Sembako yang cukup untuk beberapa hari. Aku tersenyum lagi.
Pikiranku kacau, kacau sekali. Akhirnya aku berterus terang ke bang Joko.
“Apa? Cincin itu hilang?” Ku lihat mata bang Joko membulat dengan sedikit kemarahan.
“Aku nggak sengaja, bang.”
“Hhh, Sartik… Satiiik… Kenapa kau ceroboh sekali. Kau tahu kan cincin itu sangat bersejarah bagiku. Butuh perjuangan besar untuk mendapatkannya.”
“Maafkan aku, Bang. Aku benar-benar nggak sengaja. Cincin itu lepas dari jemari tanganku.” Ujarku lagi. Bang Joko terkulai duduk di kursi rotan. Matanya menerawang jauh ke langit-langit rumah. Kemudian menarik nafas dengan perlahan.
“Tik, kau ingat di mana cincinmu jatuh?”
Aku menggeleng. “Tidak, Bang. Kenapa?”
Bang Joko kelihatan bingung. Sambil mondar-mandir dan berfikir panjang.
“Kemarin, aku mendapat cincin, Tik.” Kata bang Joko kemudian.
“Cincin, bang?” tanyaku antusias. Bang Joko mengangguk.“Kau ingat cincinmu yang hilang itu?”
“Ingat, bang. Di sana terukir nama kita.”
“Nama? Nama kita?”
“Jangan-jangan cincin itu cincin kita, Tik. Aku menemukan cincin itu di persimpangan.”
“Apa? Di persimpangan?”
“Cincin kita?” bang Joko kaget.
Bang Joko menatapku dengan rasa kesal, kecewa dan menyesal. Aku terpelongok begok melihat kekesalan bang Joko. Mata kami pun saling pandang sambil memperhatikan sisa bungkusan di atas meja.