Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
I smile, you laugh, I look away
I sigh, you ask me “why?”, I say
It’s okay and I’m just feeling down
Your hand on mine, I hear the words
If only love had found us first
Our lives they would be different
Mungkin sudah yang ke-empat kali aku memutar lagu itu dari ponselku. Dan kami masih saja terdiam di bawah naungan atap fiberglass di depan emperan toko bakery tempatku bekerja. Setengah jam yang lalu, aku baru saja selesai bekerja, dan dia sudah menungguku di luar. Berdiri mengenakan kaos hitam, semakin menegaskan ketampanannya karena kulitnya yang berwarna putih. Rambutnya agak basah terkena rintik hujan yang sedari tadi sudah turun.
“Would you mind to turn it off, Trish?” pintanya.
“Kenapa? Kamu nggak tahan mendengarnya?” tantangku.
“Iya, aku nggak tahan. Jadi sekarang kamu mau mematikannya?”
“Tunggu sebentar.” ucapku, masih mendengarkan syair lagu dari Good Charlotte tersebut, yang sudah menjadi semacam soundtrack untuk hidupku setahun ini.
And now I must confess, that I’m a sinking ship
and I’m anchored by the weight of my heart ‘cuz it’s filled with these feelings
But I keep my true thoughts locked, inside my heart black box
and it won’t be found, it won’t survive through the smoke or the wreckage
so I crash.. and burn.. I got a lot of things to learn
Kutekan tombol PAUSE di player ponselku, kemudian kutatap dia. “Rasanya aku sendiri yang sakit.”
“Trisha, please, kau tahu ini juga sangat berat untukku.”
“Kau lebih memilih dia.”
“Kaupikir mudah untuk menatapmu dan mengatakan aku tidak mencintaimu, Trish? Apa kaupikir itu mudah untukku?!”
Aku terdiam, mencoba menahan dorongan air mata yang mendesak ingin keluar dari kelopak mataku.
“.. aku mohon, Trish, mengertilah.”
“Bagian mana yang harus kumengerti? Bahwa aku harus merelakanmu kembali pada tunanganmu dan menikah dengannya? Bahwa aku harus menyadari kalau aku hanyalah sekilas cinta yang hadir terlambat dalam hidupmu?” Air mataku menetes.
“Kamu bukan sekilas cinta untukku, Trish. Aku akan selalu mencintaimu.”
“Jadi sekarang kau memintaku untuk move on? Dan berusaha bahagia melihatmu bersamanya?”
Duncan menunduk, menatap genangan air di dekat kakinya, tidak menjawab namun memelukku. Pelukannya hangat sekali, seketika menghangatkanku dari dinginnya udara hujan dan dinginnya hatiku, mampu membuatku menguras air mataku untuk tumpah di bahunya.
“Maafkan aku, Trish,” ucapnya membelai rambutku.
“Kenapa kita terlambat bertemu?” tanyaku meski aku sendiri sudah tahu jawabannya.
“Karena kita bukan jodoh, Trish.”
Duncan tak sanggup menatapku yang mengharapkan tatapan terakhir dari mata birunya. Dia berbalik, mulai berjalan menjauh dariku di bawah rintik hujan, membiarkan tubuhnya basah. Aku memandangnya berlalu. Beberapa langkah, kulihat dia berhenti. Dia berbalik kembali setengah berlari menghampiriku.
Diraihnya tubuhku, didekapnya erat, kemudian dia menatapku, mendekatkan wajahnya pada wajahku, pelan-pelan melekatkan bibir dinginnya di bibirku yang masih tergetar oleh sisa tangis dan rasa sakit di dalam hatiku.
Lalu dia pun pergi dariku.
Kunyalakan kembali player musik di ponselku yang tadi berstatus PAUSE.
.. where would we be now baby, if we found each other first?
What would you do now darling, If I said these simple words.