Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Wajah perempuan itu tegang. Keriputnya makin terlihat jelas. Matanya menatap tajam pada peralatan yang diletakkan di meja hijau. Seorang perempuan berambut lurus dan pendek, berdiri di depan sang nenek. Dia adalah jaksa Yenni S, yang menangani kasus tersebut.
Sesekali, perempuan berseragam cokelat tua itu mendesah. Tak sabar menanti jawaban. Aku dan beberapa orang di ruangan tertutup ini juga terdiam.
“Saya ulangi lagi, apa benar peralatan ini yang nenek gunakan? Jelaskan bagaimana prosesnya?” tanya Yenni dengan suara lantang. Hakim ketua menatap tajam pada sang nenek. Tak berapa lama, terdengar suara menghela napas dari kursi terdakwa.
“Iya, itu alat-alat saya.” Suara si nenek memecah keheningan. Semua mata tertuju pada perempuan tua yang hari itu berbaju cokelat bermotif kembang besar, kerudung kuning tua dan sarung biru kotak-kotak kecil.
Aku masih terpaku menatap alat di meja hijau yang membawa si nenek duduk di kursi terdakwa. Alat berupa bambu kecil seukuran sumpit yang batangnya lebih besar dan sebuah toples bening. Ada rasa aneh menjalari tubuhku. Bagaimana bisa alat itu bisa merenggut nyawa dua orang sekaligus.
Aku menatap sekelilingku. Sepasang suami istri yang setahuku selalu hadir dalam setiap persidangan duduk di deretan paling depan. Dia orangtua korban. Di kiri kanannya, beberapa pria dan perempuan menatap tak berkedip ke kursi terdakwa yang duduk membelakangi kami.
Mereka memilih menahan diri untuk tetap diam jika tak ingin diusir keluar ruangan. Pada awal sidang, pria mengenakan toga hitam berwajah tirus dengan kumis tipis itu menegur peserta sidang dengan suara keras.
“Tak ada seorang yang diperbolehkan berbicara selama persidangan berlangsung. Anda, silakan keluar,” ujarnya menatap tajam pada seorang pria yang kutaksir usia 30-an. Dia berdiri dan membuka pintu sidang.
Sejak tadi, dia menyambung setiap pertanyaan jaksa kepada terdakwa. Hakim ketua sudah menegurnya. Namun, pada momen berikutnya, dia menyela lagi. Hakim ketua akhirnya mengusir pria yang belakangan kuketahui adalah kakak korban.
Rupanya, pria itu masih belum menerima kehilangan adik semata wayangnya. Adik yang diharapkan menjadi kebanggaan keluarga dan akan lulus wisuda satu bulan lagi. Pesta pun telah dia disiapkan.
Sebuah kafe telah dipesan khusus untuk merayakan hari bahagia itu. Sang adik akan menyandang gelar sarjana ekonomi. Kelak, dia melanjutkan studi magister dan menikah. Pekan lalu, aku menatap sang kakak yang bercerita dengan mimik wajah berubah-ubah. Ada kebahagiaan dan juga luka di sana.
Aku menatap sang nenek. Dia menghela napas panjang.
“Saya menggunakan bambu kecil itu untuk mengorek janin perempuan itu sampai keluar. Lalu janinnya saya masukkan ke toples.” Kalimat nenek terhenti sejenak. Terdengar decakan dari peserta sidang.
“Saya mengulangi beberapa kali hingga dia mengalami pendarahan.”
“Mengapa melakukannya. Bukankah Anda dukun beranak yang membantu persalinan?” tanya jaksa.
“Saya memang dukun beranak yang biasa membantu perempuan melahirkan. Tapi, perempuan itu terus memaksa saya. Katanya malu pada keluarga dan tidak mau punya anak di luar nikah. Dia tiga kali mendatangi saya dan menangis agar kandungannya digugurkan.” Sang nenek mengambil napas.
“Lalu, dimana pria itu, maksud saya, pacarnya korban?” tanya jaksa.
“Dia selalu menemani perempuan itu,” ujar nenek.
“Usia kandungan korban?”
“Hampir empat bulan,”jawab nenek.
***