Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Berhenti main game, Denish! Buang-buang waktu!"
"Cuma buat hiburan, Ma."
Sudah ketiga kalinya Wina menegur Denish dalam sepuluh menit. Darahnya mendidih. Dirampasnya gawai Denish.
"Setiap hari kerjamu cuma malas-malasan," semprotnya. "Lihat tuh Bima! Sudah bisa beli motor pakai uang sendiri. Kamu?"
Denish mengeritkan gigi. Tidak terima dirinya dibandingkan dengan orang lain. Dia adalah dirinya sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
"Kenapa? Marah?" cecar Wina.
"Aku enggak suka Mama membandingkanku dengan anak lain."
"Enggak terima? Makanya jangan cuma sibuk main game! Kamu juga sudah SMA seperti Bima, tapi lihat ...." Wina menyapu sekujur tubuh Denish dengan tatapan sinis. "Apa yang bisa mama banggakan dari kamu? Enggak ada! Bisanya cuma merongrong mama!"
Denish merasa dunianya mengerdil. Jiwanya hancur lebur seperti butiran debu. Matanya mendadak panas. Sebegitu tak berhargakah dirinya di mata mama kandungnya? Wanita yang didapuk sebagai malaikat tak bersayap dan seharusnya memberi cinta tanpa syarat.
"Denish! Mau ke mana kamu?!"
Denish tak menyahut. Hanya raung knalpot melengking tinggi. Malam itu Denish tak pulang. Wina tak peduli.
"Ini kan yang Mama mau?"
Denish menyodorkan lembaran uang berwarna merah kepada Wina dengan ekspresi datar.
"Dapat dari mana?"
Wina tidak menyangka Denish yang tidak pulang semalaman akan kembali dengan membawa banyak uang.
"Aku ikut bisnis sama Bima," sahut Denish, acuh tak acuh.
Senyuman Wina sontak merekah. "Nah, begitu dong. Punya waktu luang jangan cuma dihabiskan untuk main game."
Wina menghitung lembaran uang di genggamannya. Lima ratus ribu rupiah.
"Kamu simpan saja!" ujarnya, mengembalikan uang itu kepada Denish.
"Buat Mama saja," tolak Denish. "Aku tidak butuh."
Sejak hari itu, setiap akhir pekan Denish tak pernah pulang. Wina tak mempermasalahkannya.
"Assalamu'alaikum, Bu Wina."
"Ada apa, Pak Rahmad?"
Perasaan Wina tidak enak mendapati Ketua RT mendadak bertamu ke rumahnya.
"Ayo ikut saya, Bu!"
Wina ingin bertanya lebih jauh, tetapi Pak Rahmad sudah putar haluan. Buru-buru Wina mengunci pintu.
"Bu Wina orang tua Denish?" tanya seorang oknum polisi.
Wina mengangguk. Rasa hatinya makin tidak keruan.
"Begini, Bu," ujar polisi tersebut. "Anak Ibu kedapatan menjadi pengedar obat terlarang."
"Apa?!" Wina syok. "Tidak mungkin, Pak. Anak saya tidak seperti itu."
Segala sanggahan dan pembelaan Wina terhadap anaknya terbantahkan oleh bukti kuat. Wina mengucurkan air mata.
Langkah kakinya terayun gontai, mendatangi Denish yang meringkuk di balik jeruji besi.
Hatinya perih bagai disayat sembilu, menyaksikan Denish duduk bersandar lesu seraya menyembunyikan wajah di antara kedua lutut.
Ketika petugas polisi memanggil namanya, Denish mendongak, lalu berjalan lunglai menghampiri mamanya.
Wina mengulurkan tangan, meraba pipi dingin Denish.
"Apa sekarang aku sudah membuat Mama bangga?"
Denish bertanya dengan nada sendu dan pandangan kosong.
Wina membisu, menggeleng kuat. Bibirnya bergetar hebat. Menahan ratap yang siap meledak.
Hari-hari Wina semakin hampa dengan mendekamnya Denish di penjara. Sesalnya membuncah.
Setiap sudut halamannya tampak suram. Semua tanaman yang selama ini dirawat Denish telah kehilangan jiwa dan berubah warna.
"Wah, bunga sama bonsainya cantik-cantik ya, Den. Dijual enggak?" goda seorang ibu muda.
"Belum, Tante. Nanti kalau sudah banyak."
Wina tersenyum kecut dalam tangisan penyesalan. Penggalan dialog itu menjadi kenangan terakhir wajah bahagia Denish sebelum dia merampasnya demi secarik ego.
***