Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini adalah salah satu caraku mencari pasangan. Beberapa aplikasi kencan pernah kucoba, mempertemukanku dengan banyak pria berkarakter beragam. Hampir setahun aku berhenti memainkannya. Namun, ketika rasa sepi kembali melanda dan hatiku goyah, aku pun kembali mengunduh aplikasi itu.
Aku menelusuri profil-profil yang menyukaiku, memilah dengan hati-hati mana yang terasa cocok. Tidak banyak yang kupilih—hanya beberapa yang terasa istimewa.
Salah satunya adalah Rama. Profilnya menarik perhatianku, terutama bio singkat tentang mie ayam. Sepertinya kami cocok, setidaknya dari selera makanan yang sama. Tak lama kemudian, notifikasi chat masuk.
Stiker sapi muncul lebih dulu, seolah menyapa.
Rama:
“Hai, boleh kenalan?”
Aku:
“Boleh, Kak. Lucu sapinya.”
Rama:
“Tapi lucuan kamu.”
Aku:
“Ah, bisa aja, Bang.”
Rama:
“Salam kenal, ya. Namaku Rama. Kamu panggilannya siapa?”
Aku:
“Devina, Kak.”
Rama:
“Hai, Devina. Rumahmu di mana, Dev?”
Aku:
“Di bumi, Kak,” gurauku.
Rama:
“Iya sih, bumi bagian mana?”
Aku:
“Bagian selatan.”
Rama:
“Banguntapan, bukan?”
Aku:
“Bukan, Kak. Yang benar bangun rumah tangga.”
Akhirnya obrolan berubah menjadi saling melempar godaan, seperti dua orang yang sama-sama tahu ke mana arah pembicaraan.
Rama:
“Jodohnya belum kelihatan, Kak.”
Aku:
“Berarti aku nggak kelihatan ya?”
Rama:
“Yuk kenalan lebih dekat, biar kelihatan.”
Aku:
“Tapi aku gemoy, kayak botol Yakult.”
Rama:
“Gpp, malah gemoy. Lucu kok.”
Aku:
“Lucu pas dilihat di ujung sedotan?”
Rama:
“Lucu pas kita ngobrol apa pun.”
Aku:
“Lucunya ngobrolin masa depan nggak sih?”
Rama:
“Lebih lucu ngobrolin kegiatan sehari-hari. Jadi teman cerita.”
Aku:
“Kalau kayak gini takut asing.”
Rama:
“Jangan mikir yang aneh-aneh. Fokus yang sekarang dulu.”
Aku:
“Fokus apa?”
Rama:
“Fokus menjaga hubungan kita.”
Aku:
“Wah, kalau gitu nyakitin sih.”
Aku tersenyum. Percakapan mengalir ringan, penuh candaan receh. Dari nama, tempat tinggal, hingga gurauan soal jodoh yang belum tampak. Tidak ada yang istimewa, tapi terasa nyaman. Hingga akhirnya ia menanyakan sesuatu yang membuatku penasaran sekaligus tegang.
Rama:
“Kamu pernah lihat aku sebelumnya, nggak?”
Aku:
“Kayaknya enggak.”
Rama:
“Coba lihat foto profilku.”
Aku membuka fotonya dengan saksama. Wajah itu terasa familiar. Aku membuka Instagram, menelusuri daftar followers, lalu berhenti pada satu nama yang sama. Foto profilnya cocok. Unggahannya juga.
Orang yang sama.
Plot twist apa ini, Tuhan?
Ternyata kami sudah saling mengenal sejak lama. Pernah bertemu. Dan kini dipertemukan kembali lewat aplikasi kencan, dengan cara yang sama sekali tak terduga.
Aku:
“Kamu dulu pernah magang di Fauna Grup, kan?”
Rama:
“Iya.”
Aku:
“Ya Allah… ternyata kamu.”
Rama:
“Ini pertanda apa ya, Dev?”
Aku:
“Mungkin takdir,”
Rama:
“Jodoh kali.”
Kami tertawa. Obrolan berlanjut, mengingat masa lalu, orang-orang yang dulu kami kenal, serta cerita-cerita kecil yang sempat terputus oleh waktu.
Aku:
“Eh, Mbak Rani udah nikah, lho.”
Rama:
“Serius? Aku udah lost contact sama semuanya.”
Aku:
"Ini kan udah nggak lost contact.”
Rama:
“Iya, ketemu satu ini.”
Rama:
“Jodoh nggak sih, Dev?”
Aku:
“Diaminin aja deh.”