Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Aku sudah berjanji,”
Begitulah yang akan dikatakan Sena ketika aku bertanya mengapa ia selalu berpakaian seperti pria dan wanita paruh baya. Misalnya seminggu sekarang ia akan mengenakan jas coklat kebesaran yang dipadukan kemeja berwarna putih, dibalut vest biru cerah, dengan bawahannya adalah celana kain yang tampak lusuh, karena sudah dipakai berkali-kali. Lalu seminggu kemudian ia akan mengenakan gaun midi panjang berbahan chiffon, bermotif paisley berwarna hijau tua, bahkan rambutnya dibuat cepol ke belakang. Alih-alih menjawab, ia hanya tersenyum sambil mengatakan sesuatu yang terdengar ambigu.
Tidak ada yang aneh dengannya, ia bersikap seperti gadis pada umumnya. Suka berbicara tentang topik yang hangat di media sosial dan bercanda khas anak muda. Seharusnya kepribadiannya yang ramah itu, bisa menarik perhatian orang untuk berteman dengannya. Namun karena penampilan Sena yang terlalu mencolok, membuat semua orang berpikir ulang untuk berhubungan dengannya.
Setiap hari Sabtu Sena akan mengunjungi danau hanya untuk menaburkan beberapa bunga kamboja. Pada hari Minggunya, ia akan duduk termenung di taman seharian, tanpa melakukan apa-apa. Karena itulah orang-orang mulai takut dengannya. Aku tidak masalah dengan itu, selama ia tidak menyakitiku dan membuatku nyaman dengannya.
“Kamu masih muda, wajahmu juga menawan. Sayang jika tidak mencoba pakaian lain, bukankah begitu Wan?” Ojak menoleh padaku meminta persetujuanku. Sena yang sedang fokus mengetik pun, langsung berhenti dan menatap Ojak, senyum tipis terbentuk dibibirnya,”Sayangnya tidak bisa, karena aku sudah berjanji,”
Jawaban yang sama, setiap kali Sena ditanya seseorang. Karena terlalu sering, aku berpikir bahwa Sena sudah seperti robot yang hanya akan memberikan satu jawaban. Ojak menghela nafas,”Tapi penampilanmu yang sekarang membuatmu kelihatan jelek. Maksudku sangat jelek,” ucapan tidak sopan itu keluar begitu saja, tanpa pikir panjang hingga aku khawatir itu akan membuat Sena tersinggung.
Namun dugaanku salah, Sena tersenyum merekah, lebih lebar dari sebelumnya. Hingga aku merasa takut dengan cara Sena tersenyum.
“Begitu ya, tapi aku sudah berjanji,”
Keesokan harinya Sena tidak masuk kuliah, tidak ada keterangan sakit atau pun izin. Menyadari itu, aku sedikit khawatir. Mungkin saja gadis itu sakit hati karena komentar dari Ojak, mengkomentari penampilan orang lain menurutku sangat sensitif. Beruntungnya yang Ojak hadapi saat itu adalah Sena, jika itu aku, maka aku akan menampar pria itu sampai tidak berkutik.
Aku pun menjenguk Sena ke rumahnya. Sekalian kubawakan obat dan beberapa makanan kesukaannya seperti pie apel. Benar saja Sena sakit, ia tidak beranjak bangun dari tempat tidurnya sambil terus meringkuk menutupi badannya dengan selimut. Aku mengompresnya dengan kain yang sudah kubasahi dengan air hangat. Kubantu ia meminum obat dan membiarkannya tertidur.
Aku mulai bosan, tiba-tiba tanganku tanpa sengaja seperti menyentuh sesuatu dibawah ranjang Sena. Setelah kulihat ternyata buku diary dengan sampul berwarna coklat tua, aku tidak ingin membukanya. Namun aku penasaran pada sesuatu, Sena tidak pernah memberiku jawaban pasti mengapa ia selalu berpakaian seperti pria dan wanita tua. Tanganku mulai membukanya, kedua mataku bergulir membaca halaman demi halaman.
21 Mei 2021
Aku baru pulang sekolah, saat itu ada banyak notif dari ponselku. Namun aku tidak sempat membacanya, jadi aku mengabaikannya. Sampai bibiku datang dan memberitahuku bahwaAyah dan Ibu meninggal karena kecelakaan.
21 Mei 2022
Sudah 1 tahun aku mengurung diri di kamar, sampai lupa bagaimana caranya bicara dengan benar, suaraku sama sekali tidak keluar dan aku hanya mengeluarkan suara aneh yang menjadi tertawaan sekitar. Untuk itu bibiku membawaku ke rumah sakit, yang kata orang tempat dari berkumpulnya orang-orang gila. Aku menjalani terapi berminggu-minggu, entahlah aku tidak menghitungnya. Namun sepertinya aku sakit, karena aku terus diberi obat.
21 Mei 2023
Obat itu tidak bisa menghidupkan Ayah dan Ibu, hanya membuatku jauh darinya. Aku tidak ingin itu, aku ingin tetap mengingat Ayah dan Ibu, entah baunya, suaranya, cara berjalannya, dan sensasi saat mereka ada disampingku. Aku tidak ingin melupakannya sedetik pun. Dari website yang kubaca, setiap tempat atau benda peninggalan selalu meninggalkan energi orang mati, meski mitos aku tidak peduli.
Aku sudah berjanji pada Ibu dan Ayah bahwa aku tidak akan pernah melupakan mereka seumur hidupku.
Aku membongkar pakaian lama Ayah dan Ibu, lalu memakainya. Bahkan gaya rambut pun kuubah seperti mereka. Karena Ayah suka bunga kamboja, aku mengirimkan kelopak bunga padanya, melalui danau yang sering aku kunjungi dengannya. Danau adalah perantara yang tepat untuk menghubungkan orang hidup dengan yang sudah meninggal.
Aku juga mengunjungi taman, sambil memakai pakaian Ibu. Berharap melalui serat-serat pakaian, ada sedikit energi emosional yang bisa Ibu rasakan diatas surga sana.
Aneh, katanya ini mitos.
Namun aku merasa mereka ada, kemana pun aku pergi mereka berdiri disampingku, memelukku seperti biasanya.
21 Mei 2025
Aku punya teman, namanya adalah Wan. Kukira ia tidak mau berteman denganku karena aku punya kebiasaan seperti ini. Namun ia tidak pernah mempermasalahkannya, meski pernah sekali ia bertanya, tapi setelah itu tidak lagi. Ayah, Ibu...Aku berjanji tidak akan melupakan kalian
Dan.. Aku juga berjanji akan menemukan teman yang baik.
Sekarang, aku sudah menemukannya dan dia adalah Wan.
Aku menutup diary itu, air mataku keluar begitu saja saat membacanya. Dadaku seperti diremas, rasa sesak menjejali hatiku. Seharusnya aku tidak mempertanyakannya dan sekarang aku mengerti tentang Sena.
“Dia memang sudah berjanji, kenapa begitu saja aku tidak paham,” Aku mengusap air mataku.