Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menekan tombol itu tanpa sengaja.
Cahaya putih berkilatan menyilaukan mata. Listrik mati sesaat. Udara di ruangan berubah dingin, seperti napas yang tertahan. Lalu suara itu terdengar lagi. Suara yang tidak asing, tapi sudah lama terkubur.
Bel istirahat.
Ketika cahaya putih itu meredup, kedua mataku perlahan terbuka, aku tidak lagi berada di ruang kerja yang sunyi, melainkan di sebuah kelas. Bau kapur tulis. Meja kayu dengan ukiran nama-nama kecil. Cahaya siang yang masuk lewat jendela.
Dan kelas mendadak kosong.
Bangku-bangku berderit ditinggal tawa. Pintu kelas terbuka lebar menuju halaman tempat semua anak berlari menjadi ramai, menjadi 'ada'.
Semua… kecuali satu.
Seorang anak duduk diam di bangku dekat jendela. Tangannya menopang dagu. Mata sayunya menatap ke luar kelas.
Aku mengenalnya.
Anak itu aku.
Aku berdiri di sudut kelas, tak terlihat, tak terdengar. Terlalu tua untuk ruangan sekecil ini. Dan untuk pertama kalinya, aku menyadari betapa kurusnya diriku dulu saat kesepian itu terjadi.
Di luar sana ada suara jajanan dibuka, ada teriakan memanggil nama, ada lingkaran-lingkaran kecil yang disebut pertemanan.
Di dalam kelas ini, hanya ada jam dinding yang berdetak terlalu keras, dan seorang anak yang tak tahu harus ke mana karena tak ada yang menunggunya.
Aku ingin menghampirinya. Duduk di sebelahnya. Mengatakan sesuatu, bahwa ia tidak salah. Bahwa ia tidak aneh. Bahwa dunia memang sering lupa pada anak-anak yang tidak berisik.
Tapi aku hanya bisa menonton.
Anak itu tidak menangis. Ia sudah terlalu banyak belajar bahwa menangis hanya akan membuatnya makin sendirian.
Ia hanya duduk. Diam. Seperti berharap seseorang akan kembali ke kelas bukan untuk mengambil buku, tapi untuk berkata, “Ayo, ikut aku.”
Tak ada yang datang. Ia pun mengeluarkan buku. Aku ingat rasanya, itu hanya pelipur lara.
Dan saat bel berbunyi lagi, aku merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan daripada kenangan itu sendiri. Di masa lalu ia harus menanggungnya sendirian.
Lampu putih menyilaukan mataku.
Aku kembali ke ruang kerja. Mesin itu mati. Aku hanya diam mematung. Sepi. Sunyi. Hingga satu bulir air mata merayapi pipiku.
Dadaku terasa sesak oleh sesuatu yang tak pernah benar-benar sembuh. Bahkan hingga saat ini.
Ya, luka tidak selalu timbul dari kekerasan, kadang berasal dari ketiadaan kepedulian.