Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu dunia terasa seperti sisa mimpi yang terbawa setelah bangun. Aku masuk dalam permainan yang lebih sepi dari hidup nyata, aku melihatnya: seorang perempuan bertopeng serigala dengan tulisan Sweet_Happy. Nama yang terdengar seperti orang yang berusaha terlihat bahagia karena sudah terlalu sering ditanya “kamu nggak apa-apa?”
Ia melemparkan icon senyuman dalam chat room—kebiasaan yang jarang kulihat dari pemain lain. Kebanyakan orang masuk game seperti menyalakan lampu: tombol mekanis. Ia tidak. Ia masuk seperti orang yang ingin menulis kenangan: pelan, perlahan, takut merusaknya.
“Welcome Ben,” katanya.
“Terimakasih,” jawabku, mencoba terdengar ramah meski topengku bertuliskan nama yang agak sok keren: Beni_Benedict.
Kami bertemu begitu saja. Tanpa asal-usul, tanpa latar belakang yang perlu diperiksa. Dunia permainan tidak peduli siapa kami sebelumnya. Hanya angka-angka, statistik, dan kemampuan menekan tombol tepat waktu. Tetapi ia—entah bagaimana—memperlakukanku seperti aku lebih dari itu.
Hari pertama, ia menolongku menandai seekor juara—Hewan Npc yang ketika kita kalahkan akan memberi poin pengalaman dan item berharga. Hari ketujuh, ia sudah mencuri peran sebagai orang yang paling banyak mengomeliku soal strategi. Tentang bagaimana seharusnya tim berburu. Hari ke-28, ia mulai lupa bahwa ini hanya permainan.
Aku juga lupa, kadang-kadang.
Ruang favorit kami adalah sebuah gunung digital tempat langit tidak pernah gelap sepenuhnya—Lereng Fugaku. Tempat yang terlihat seperti ingatan yang menolak lupa. Kami berburu, membunuh hewan, berlari-lari dan tertawa tanpa wajah. Hanya icon-icon dalam chat room dan Avatar serigala yang meliuk-liuk melompat persis seekor anak anjing yang sedang bermain. Ia menebak-nebak bentuk wajahku di balik topeng, dan aku menebak cara ia tersenyum saat mengetik kalimat panjang—yang kemudian ia hapus sebelum terkirim.
“Beni, menurutmu kenapa orang betah sembunyi di balik topeng?” tanyanya suatu malam.
“Karena tanpa wajah, kita bisa jadi siapa saja.”
Ia diam sejenak, lalu menulis: Atau mungkin, karena tanpa wajah, kita tak perlu takut mengecewakan siapa pun.
Aku tidak membalas. Tidak saat itu.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti pasangan yang terlalu cocok namun terlalu penakut. Kami memenangkan setiap misi seperti dua orang yang sudah lama belajar membaca napas satu sama lain. Kami saling menunggu login tanpa pernah berjanji. Dan ketika ia terlambat beberapa menit, aku merasa dunia permainan menjadi lebih dingin. Aneh sekali, bagaimana orang bisa merindukan seseorang yang bahkan tidak ia lihat.
Pada hari ke-70, ia mulai berubah. Suaranya lebih pelan, gerakannya lebih ragu. Ia sering berhenti di tengah pertandingan, seolah ada sesuatu yang hendak ia katakan tetapi disimpan kembali.
Malam itu ia menatapku—atau layar yang mengandung diriku—lebih lama dari biasanya.
“Beni…,” tulisnya.
“Hmm?”
“Aku ingin tahu. Wajahmu.”
Aku menelan ludah meski tidak ada yang harus ditelan di dunia digital.
“Tidak bisa,” jawabku.
“Kenapa?”
“Karena kalau kamu lihat, kita tidak akan sama lagi.”
Ia tertawa pendek. Satir. Pahit.
“Kau berbicara seperti orang yang takut pada cinta,” katanya.
“Yang kutakutkan justru sebaliknya.”
Ia berhenti bergerak. Avatar-nya berdiri kaku seperti patung yang baru sadar ia cuma replika.
“Beni,” tulisnya, kali ini tanpa jeda. “Buka topengmu. Atau… biarkan aku membukanya.”
Aku tidak sempat menjawab. Ia sudah menekan perintah yang tidak pernah kugunakan. Topeng itu jatuh dari wajah avatarku. Dan dalam sepersekian detik, ia melihatku: identitas yang kusembunyikan bukan karena memalukan, tetapi karena terlalu nyata.
Seorang laki-laki yang sudah punya kehidupan yang tidak menyediakan ruang untuk perempuan bernama Sweet_Happy. Seseorang yang sudah terikat pada komitmen dunia nyata yang tidak bisa diperlakukan seperti game: tidak bisa di-reset.
Ia terdiam lama sekali. Di layar hanya muncul kalimat pendek:
Oh.
Kadang-kadang satu kata itu cukup untuk memecahkan hati manusia. Aku ingin menulis banyak hal—penjelasan, permintaan maaf, permohonan agar ia tetap tinggal—tapi di game, seperti di hidup, beberapa hal terlambat bahkan sebelum diketik.
“Kau seharusnya tidak bertemu aku,” katanya.
“Sweet, dengar—”
“Sudah. Aku mengerti. Kamu terlalu jauh. Terlalu tinggi. Terlalu… bukan untukku. Jangan chat aku lagi.”
Setelah itu ia keluar dari ruang favorit kami. Hening kembali, seakan lereng fugaku hanya menyisakan aku.
Aku berharap ia kembali esok hari, tapi ia memang perempuan yang memegang ucapannya sendiri, bahkan ketika ucapannya menyakitinya.
Namun ia tidak pergi begitu saja. Ia memilih jalan yang lebih pedih.
Pertandingan terakhir kami terjadi tanpa sengaja. Sistem memasukkan kami ke tim yang sama—dua avatar yang seharusnya saling memahami tetapi kini hanya saling menghindari tatapan. Ia tidak menulis apa pun malam itu. Hanya diam, seperti seseorang yang sudah putus keputusan: memutus.
Kami melaju dalam misi. Semua berjalan normal sampai detik penentu. Musuh mengepung kami, dan aku bersiap melakukan kombo yang biasanya membuat kami menang. Tanganku refleks bergerak seperti selama 70 hari terakhir.
Tapi ia bergerak lebih cepat.
Dalam sekejap, ia memutar arah serangannya. Bukan ke musuh. Ke arahku.
Avatar-ku jatuh dengan suara pecah yang lebih menyakitkan daripada apa pun yang pernah kudengar di dunia nyata. Layar berkedip-kedip, tetapi yang paling menyilaukan adalah pesan terakhir darinya.
Beni… maaf. Aku harus pergi sebelum aku berharap lagi.
Aku tidak membencinya. Bagaimana bisa membenci seseorang yang hanya ingin menyelamatkan dirinya dari sesuatu yang tidak bisa ia miliki?
Setelah ia keluar dari permainan, aku tetap menunggu di lereng fugaku. Malam demi malam. Topengku kupungut kembali, tetapi rasanya seperti benda asing. Tidak ada lagi yang menunggu berdiri di sisi lain. Tidak ada lagi suara ceria yang meniru kebahagiaan.
Sweet_Happy—nama yang ia pilih sebagai doa—telah pergi. Dan aku, Beni_Benedict, tinggal sendirian dengan ingatan yang tidak bisa kuhapus.
Kadang-kadang aku berpikir: dunia permainan lebih jujur daripada dunia nyata. Di sana, ketika seseorang pergi, ia benar-benar pergi. Tidak ada peluang ketemu di warung depan, tidak ada pesan tengah malam, tidak ada kesempatan menyalahkan keadaan. Yang ada hanya ruang kosong dan nama yang tidak lagi menyala.
Tetapi malam ini, sebelum logout, aku menulis sesuatu di ruang digital itu. Kata-kata yang tidak akan ia baca tetapi perlu kuucapkan agar dunia ini tidak menelanku utuh.
Sweet, kalau dunia nyata tidak memberi kita ruang, setidaknya biarkan aku menyimpanmu di ingatan. Sebagai perempuan yang tidak pernah kumiliki, tetapi selalu kukenang.
Nama itu tetap tak menyala. Sunyi. Sederhana. Seperti luka yang sudah tahu cara hidup di tubuh manusia.
Dan aku—masih menunggu seseorang yang tidak akan kembali.
Dalam dunia yang diciptakan bukan untu
k mencintai, tetapi berhasil membuatku mencintainya.