Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Alarm pagi membuatku terlonjak. Entah sudah berapa kali dia berdering mengeluarkan suara nyaring yang memekak kan telinga, lucunya telinga mungilku ini tak pernah mendengar di deringan pertama. Justru telinga ini mendengar di detik-detik terakhir perjuangan alarm itu membunyikan loncengnya.
Untuk ke sekian kalinya aku bisa tertidur nyenyak seperti ini, bangun tanpa teriakan dan hantaman yang menyakitkan. Aku menghirup udara segar, aroma kebebasan dan kebahagiaan yang selalu aku impikan.
Setelah merenggangkan tubuhku, aku beranjak membereskan tempat tidur dan keluar dari kamar. Dentuman benda di bagian belakang rumah ini menarik perhatianku hingga membawaku ke sana.
“Kamu nggak kerja?” tanya wanita paruh baya yang kupanggil dengan sebutan mama.
“Ini mau mandi,” singkatku. Tapi aku rasanya enggan sekali berjalan masuk ke ruangan kecil di sudut dapur.
Aku diam sejenak memperhatikan mama yang terus saja mengomel sembari tangannya sibuk menyiapkan sarapan dan kesibukan lain. Aku heran dengan wanita kesayanganku itu. Kenapa energinya tak pernah habis? Memasak setiap hari, membereskan rumah, belum lagi dia harus bekerja juga saat matahari sedikit naik ke atas. Mama juga selalu menyempatkan untuk memasak, walau hanya sekedar telur mata sapi atau tahu goreng dengan sambal bawang yang dipadukan nasi hangat.
Biarpun aku sudah memiliki penghasilan dan mampu memenuhi kebutuhannya, tapi ia tetap ingin bekerja. Berada di rumah membuatnya kesepian katanya.
“Ck!” decak mama. “Kamu bukannya masuk kamar mandi malah berdiri aja di sana!” ucap mama lagi sambil melemparkan lap yang baru saja ia pakai mengangkat sayur sop dari atas kompor.
“Iya, mamaku sayang!” ucapku lalu memeluknya sebentar.
Mama tampak tertegun, aku bisa merasakan reaksinya yang mematung dengan tindakanku itu. Degup jantung yang berpacu begitu kencang itu bisa aku rasakan, walau sekilas aku memeluknya.
Seusai mandi aku langsung duduk di meja makan, tentu saja setelah menggantung handuk yang tadinya di leher, ke jemuran samping rumah.
“Tumben, biasanya ditaruh sembarangan,” sindir mama.
Aku tak menggubris, aroma masakan mama menguar yang memenuhi dapur, sudah menyita perhatianku, membuat lidahku tak sabar untuk menyantap masakan mama. Masakan yang selalu aku rindukan, masakan—yang jarang aku makan.
Selesai santapan pagi itu memenuhi lambungku, aku bersiap berangkat bekerja—lalu menemui mama di kamarnya untuk sekedar berpamitan.
Aku ketuk pintu kamar, lalu masuk dan duduk di atas ranjang milik mama yang setengah bagiannya memenuhi ruangan, aku tatap mama dan mengikuti ke mana gerakan tubuh mama bergerak. Mama mondar mandir—ke sana ke mari, sibuk memasukkan beberapa barang yang hendak ia bawa. Beberapa kali mama menanyakan mengapa aku memperhatikannya, tapi aku tak menjawab, aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari mama. Aku terpaku, terpesona dengan kegesitan mamaku, juga semangatnya di usianya yang saat ini.
“Mama sayang aku nggak?” ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirku.
“Sayang dong, tumben kamu nanya begitu?” tanya mama tanpa melihatku.
“Nggak pa-pa,” singkatku. “Aku pergi kerja dulu ya, Ma?” Aku bangun dari dudukku, lalu melenggang pergi tanpa menghiraukan tatapan mama yang aneh melihatku. Aku keluar dari rumah dan mengunci pintu.
Langkahku yang santai membawaku ke sebuah kebun yang tak jauh dari rumah. Seseorang sudah menungguku di sana.
“Lama banget,” kesalnya sembari mengelus pipinya yang lebam. Tanpa menanyakannya, aku sudah tahu dari mana lebam itu ia dapatkan.
“Sabar, gue sarapan dulu tadi.”
“Enak banget lo sarapan masakan nyokap gue, sedangkan gue ... sarapan bogem mentah bokap lo!”
Aku tersenyum tipis sembari menyandarkan tubuhku di dekat pintu mobil.
“Dia juga nyokap gue ... dan akan selalu jadi nyokap gue.”
Kedua alis lelaki di hadapanku itu bersatu, lalu ia menyipitkan matanya seolah mencari tahu maksud ucapanku.
“Ya iyalah dia juga nyokap lo, kan kita kembar?” ucapnya lagi sembari menepuk bahuku.
Tapi aku tak menanggapi ucapannya, tanganku menyusup di balik jaket tebal yang aku kenakan. Aku menatap tawa terakhir ‘saudara kembarku’ itu dan dengan cepat memeluknya, pelukan erat yang membuat dia tiba-tiba mematung. Tubuhnya mengejang sesaat, tapi aku eratkan lagi pelukanku hingga dia benar-benar tak bergerak.
“Bukan ... dia mamaku. Hanya—mamaku, bukan kita.”