Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sehari sebelum meninggal, Kakek memanggilku. Udara di kamarnya pengap dan sesak, padahal tidak banyak benda yang menghimpit. Ia menatapku lama. Matanya tampak berair, tetapi tidak luruh.
“Di belakang rumah,” ujarnya lirih, “ada sesuatu yang tertanam. Jangan biarkan siapa pun menyentuhnya!”
Aku mengangguk. Mendengarkan tanpa menyimpannya di pikiran.
Mungkin Kakek berhalusinasi, atau seakadar menyampaikan pesan tersirat—pikirku. Namun, tatapannya semakin tajam dan semakin dalam. Ia seperti seseorang yang sedang mewariskan rahasia yang berat.
Aku terus duduk di sampingnya. Memijat kakinya dan mengusap tangannya yang dingin. Ia memintaku tak beranjak ke mana-mana.
Keesokan paginya, Kakek meninggal. Ia pergi dengan wajah gelisah, seakan masih ada urusan duniawi yang belum tuntas.
Setelah pemakaman Kakek, rumah terasa lebih berisi. Bukan oleh orang-orang, tetapi oleh sesuatu yang tidak bisa kulihat. Dinding-dinding memantulkan suara langkah bergemuruh, dan bau tanah basah menyerbak ke setiap sudut.
Hari demi hari, semuanya berjalan dengan getaran dan aroma yang sama. Kadang, aku seperti melihat Kakek sedang menggali di halaman belakang. Kadang, bayangannya masuk ke kamarku.
Orang-orang membicarakan Kakek—di warung, di ujung gang, dan di sela perkumpulan. Mereka bilang Kakek kerap berkeliaran di tengah malam sembari menenteng keris.
Aku tidak percaya, tetapi desas-desus itu bisa saja benar. Dulu, Kakek memang dikenal sebagai pembuat keris. Tak hanya sekadar pusaka, melainkan juga dianggap jimat dan penyelamat.
Itu cerita yang kudengar dari Ibu. Sejak aku tumbuh, aku sendiri tak pernah melihat benda itu ada di dalam rumah.
***
Ibu mengatakan aku sering melamun di dekat jendela, memandangi halaman belakang yang kosong nyaris tanpa berkedip. Aku tidak pernah sadar melakukannya. Aku hanya mengikuti sayup-sayup panggilan namaku dari arah sana. Ia berbisik, lalu menyelinap di antara denyut nadi dan helaan napasku.
Beberapa malam belakangan, aku sering terbangun karena mimpi aneh. Dalam mimpi tersebut, aku berdiri di tengah halaman, sendirian. Tanah di bawah kakiku berdenyut, seolah ada kehidupan yang kulanggar.
Aku mencoba berlari, sejauh mungkin. Akan tetapi, langkahku tidak ke mana-mana. Hanya meninggalkan lubang kecil, hitam dan menganga.
Ketika aku membuka mata, telapak tanganku berlumur tanah merah. Lembap dan hangat seolah baru saja kugenggam erat.
Aku tidak menyentuh apa pun sebelum tidur. Semua yang kutinggalkan sebelum memasuki mimpi tidak menunjukkan aktivitas ganjil. Selimut tetap bersih, bantal tak bernoda, bahkan kasur masih cukup rapi. Karena itulah, aku yakin aku tidak memiliki parasomnia, apalagi menderita somnambulisme.
Akhirnya, aku mulai menelusuri wasiat Kakek di belakang rumah. Aku menyapu daun-daun yang jatuh. Aku memberi tanda di setiap retakan. Saat Ibu tidak di rumah, aku menggalinya.
Mulanya hanya cekungan yang dangkal, lalu kian dalam, kemudian bertambah banyak. Halaman menyerupai tubuh yang penuh luka.
Aku sampai tidak sadar, tidak mampu menghitung, berapa banyak lubang yang kubuat. Aku hanya tahu harus menemukan sesuatu.
Ibu memanggilku dari dapur. Suaranya terdengar tinggi menekan. Aku segera menghampirinya dengan menyembunyikan kedua tanganku di balik punggung.
“Apa yang sedang kamu cari?” tanyanya, membentak. “Kamu rusak rumput-rumput yang ditanam oleh kakekmu.”
Aku menunduk. Diam beberapa saat, memikirkan jawaban yang masuk akal.
“Kakek bilang ada hadiah untukku di situ,” jawabku, setengah menggigil.
Ibu menarik napas. “Kalau sudah ketemu, bereskan lagi halamannya.”
Aku mengangguk, lalu melangkah ke kamar Kakek. Aku merasa ia belum benar-benar pergi dari rumah ini.
Ada sesuatu menyembul dari bawah bantal. Aku merogohnya. Berat. Panas. Sebuah keris dengan warangka berukir aksara Jawa yang mengeja namaku.
Aku tahu itu, sebab Kakek pernah mengajariku menulisnya di buku. Ia memintaku mengingat bentuk hurufnya baik-baik. Katanya, suatu hari aku akan menemukannya di tempat yang tidak semestinya.
Di luar, langit meremang. Hujan mengguyur. Deras, disertai kilatan petir. Aku keluar dari kamar Kakek mengendap-endap.
Baru beberapa langkah, jeritan Ibu menggelegar. Bunyinya terputus-putus bak ditarik paksa dari kerongkongan. Aku langsung melesat menuju sumber suara.
Ayah dan saudara-saudaraku sudah lebih dulu mencoba menenangkan Ibu. Ibu berkata bahwa ia melihat Kakek tengah menggali tanah di halaman belakang. Ia juga mengaku mendengar suara gesekan. Suara yang persis seperti ketika dulu Kakek menatah bilah keris.
Aku buru-buru menyelipkan keris yang kutemukan ke dalam baju. Ibu menoleh kepadaku. Bola matanya merah, menyala, sarat amarah.
“Kembalikan itu! Cepat kembalikan!” pekiknya.
Aku menggelengkan kepala, pura-pura tak mengerti. Ayah terus membaca doa sambil mencipratkan air ke wajah Ibu. Tak lama, Ibu menutup mata.
Ibu menutup mata, dan tak mau membukanya lagi. Kukira hanya sementara, tetapi menjadi selamanya.
Aku ingin menunjukkan keris itu kepada Ayah. Namun, suasana kesedihan menutupi segalanya. Semua orang menangis, sedangkan aku beku, tak bisa mengeluarkan air mata. Aku tak tahu mana yang lebih dulu harus kutangisi: kehilangan atau penyesalan.
***
Tujuh hari pascakepergian Ibu, halaman belakang mulai kembali tenang. Rumput-rumput tumbuh, menutup lubang-lubang yang dulu kubuat dengan gegabah.
Namun, ketenangan itu semu. Jejak luka yang pernah mencuat tak bisa tersamarkan. Salahku.
Aku terdorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, oleh keegoisanku. Andai waktu itu aku melakukan perintah Ibu dengan segera, mungkin ia masih ada di sini. Ia tetap mengawasiku dari jendela dapur.
Mungkin pula, keris itu seharusnya tetap berada di bawah bantal Kakek. Tak perlu kuambil. Tak perlu kuakui bahwa pusaka itu dibuat untukku.