Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sudut ruang, kain beludru mematikan suara, menjaga tidur panjang tuts putih gading. Di sana, bersemayam mimpi ku yang renta, melodi yang dituduh “bising”, gairah yang dianggap “tak penting.”
Bukan notasi yang terukir di kepala, tapi suara keras, menggema, “kamu tidak berbakat, kamu takkan berhasil.” Setiap janji pada diri sendiri teredam putu asa, menanamkan akar tak layak yang tumbuh subur dan kerdil.
Kini aku hidup di antara deret dan logika beku, mencari presisi di dunia yang menolak membangkitkan jiwa. Rasa yang pernah ada menjela menjadi bayangan, mengikuti selalu. Sebab ia percaya keindahan tak pantas disebut indah.
Di depan cermin, tubuh letih tak lagi aku sembunyikan, aku melihat diriku yang menahan napas terlalu lama. Lalu, tangan kaku perlahan naik, tanpa arahan, memberi pelukan pertama pada jiwa yang trauma.
“Hai, Luka,” bisikku pada bahu yang gemetar. “luka karena keindahan yang dipaksa bungkam. Aku melihat diriku seperti tidak layak mendapatkan apapun, tak di hargai. Tapi, takkan lagi membuat mimpiku terdampar.”
Aku melepaskan kain tebal, debu trauma berhamburan. Jari-jari lama yang kaku, kini menemukan rumah. satu tuts aku tekan, bukan harmoni, hanya pengakuan. Satu nada, satu suara yang ku terima.
Itu bukan lagi suara ambisi yang menuntut panggung megah, tapi melodi kesembuhan yang jujur tanpa paksaan. Aku mempunyai sejuta harapan baru yang kusebut itu mimpi, aku seorang musisi baru, bukan dari rasa resah. Tapi dari cinta yang aku tulis pada lembar kehidupan.
Di antara hening yang sunyi, tanganku di ambang memulai, hati menciut ngeri, nyatanya aku hanya berandai-andai. Lalu datang suara yang lebih tajam dari pisau, menghakimi api kecil yang ku jaga agar tetap menyala. Katanya mimpiku tidak layak.
Mereka takkan pernah tahu kedalaman niat yang kurangkum, takkan mengerti kesungguhan di balik setiap tangan yang terukir. Nyatanya itu hanya tumpahan jiwa.
Mengapa setiap sayap yang tumbuh harus dipatahkan? Setiap nyala api di basahi air mata yang deras?mengapa ketulusan harus dibayar dengan kehancuran? Seolah-olah bahagia adalah dosa yang tak pantas dibalas.
Hidupku adalah untukku. ada rindu yang selalu aku jaga kepada raga yang jauh, raga yang bebas menari di atas tuts-tuts tanpa ragu. Ada rindu yang memelukku erat namun kosong.
Maka aku bertanya pada semesta yang diam membisu, pada takdir yang tak pernah mau berpihak adil dan terang. Mengapa harus ada harapan, jika ujungnya selalu pilu?
Dan aku punya mimpi, berdiri di tengah, mencoba memeluk serpihan jiwa yang dituduh tak berharga.