Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi tanggal 24 November itu, aku bertemu dengan teman-temanku yang sudah lama tidak kujumpai. Kami duduk di sebuah kafe yang ramai menikmati tawa dan kopi, seolah waktu tak pernah bergerak. Kami menikmati waktu sampai ponselku berbunyi.
Banyak telepon dan pesan masuk secara beruntun. Semuanya dari ayahku, yang isinya sama: ia memintaku segera pulang. Aku tidak langsung mengiyakannya. Tapi setelah chat yang berulang kali menyatakan hal yang sama, dengan nada yang semakin mendesak, akhirnya aku memutuskan untuk pergi.
Di jalan, kepalaku dipenuhi tanya. Mengapa aku disuruh pulang? Apa ada hal yang begitu urgent hingga aku harus pulang? Hal apa itu? Apakah ibuku kenapa-napa? Atau mungkin ada saudara jauh yang berpulang? Pikiranku berputar kencang, mencoba mencari logika di balik desakan ini.
Saat akan tiba di rumah, pandanganku terhenti pada sesuatu yang membuat hatiku mencelos: bendera putih. Bendera yang khas dengan kedukaan.
Saat sampai di rumah, aku melihat kakak perempuanku dan ayahku. Ayahku hanya berpesan dengan suara yang berat, "Masuk dan temui ibumu." Aku melangkah masuk, dan melihat ibuku yang sudah menangis tersedu-sedu. Aku hanya disuruh duduk. Ayahku menarik napas, lalu berucap, "Kakakmu sudah berpulang."
Aku hanya diam, tidak ada tangis. Aku hanya mampu bertanya, "Kenapa bisa?" Kata ayahku, dengan mata kosong, "Ia ditemukan di kamar mandi."
Padahal, aku dan kakakku terakhir berkomunikasi tadi pagi. Dia masih menjawab chatku jam 02.40 pagi. Pesan itu masih tertera jelas di layar: "Besok kalau pulang malam jangan lupa share live location." Janji "besok" itu ternyata tidak pernah datang untuknya.
Setelah diskusi yang panjang, akhirnya ayahku pergi menjemput jenazahnya. Kata ayahku, itu menjadi perjalanan terpanjang dalam hidupnya. Hatinya hancur ketika melihat jenazah anaknya sendiri di dalam mobil ambulans. Tubuh kakakku sudah separuh membeku dingin, namun wajahnya terlihat tenang.
Perjalanan yang terasa abadi itu berakhir. Jenazah kakakku tiba di rumah sekitar pukul 19.30, dalam iringan mobil ambulans yang sunyi. Adikku, ibuku, dan kakak perempuanku, semua menangis. Suara isak tangis mereka merobek keheningan duka.
Namun, aku hanya merasa kosong. Aku tidak bisa menangis. Aku hanya diam, berlutut, sambil menyentuh tubuh kakakku yang sangat dingin. Tubuh yang aku tahu, tidak akan kulihat lagi setelah proses pemakaman. Setelah penyucian, kakakku dirias. Wajahnya sangat tenang, seperti tertidur lelap tanpa mimpi buruk.
Malam itu menjadi malam penghormatan terakhir kami. Pemakaman di hari kedua berjalan lancar. Aku masih berada dalam mode "fungsi" atau mungkin masih terperangkap dalam syok. Lagi, aku tidak menangis. Aku hanya memandang wajahnya dan menyentuh tangannya, mencoba mengukir setiap detail itu dalam ingatan.
Namun, ketika semua selesai dan aku sampai di rumah, barulah rasa hampa itu memukulku. Kebiasaan kami makan bersama setelah acara penting hanya bisa aku jalani sendiri. Ada yang kosong, ada yang hilang dari diriku, dari rutinitas kami.
Malamnya, ketika doa bersama berlangsung. Di tengah ketenangan yang spiritual, air mata yang selama ini tertahan tiba-tiba pecah. Aku menangis. Setelah doa itu selesai, kami semua pulang. Rasanya seperti ada yang ketinggalan—sebuah kehadiran, sebuah bagian dari diriku—tapi tidak bisa kubawa pulang.
Aku kini harus hidup berdampingan dengan duka. Aku harus belajar hidup dengan segala kenangan yang ada. Aku masuk ke kamarnya, mencium sisa aroma parfum di udara. Setiap sudut rumah terisi kenangan kami, setiap tempat yang pernah kami kunjungi mengingatkanku akan kehadirannya.
Kini, aku menyadari besarnya kehilangan ini.
Aku kehilangan payung yang melindungiku dari hujan. Kakakku adalah perisaiku dari kesulitan, dan kini aku harus menghadapi badai kehidupan seorang diri. Aku harus belajar mencari kekuatan di dalam diriku sendiri, di ruang yang selama ini selalu diisi oleh perlindungannya.
Kami kehilangan satu kaki kursi kecil kami. Kursi keluarga kami tidak bisa lagi berdiri tegak. Ia pincang, miring, dan tidak aman. Meskipun Ayah dan Ibu berusaha keras untuk menopangnya, aku tahu, celah itu tidak bisa ditambal. Segalanya tidak lagi sama.
Aku harus belajar berdiri kokoh di atas tiga kaki yang tersisa, bahkan jika itu terasa tidak seimbang dan menyakitkan. Aku tahu, hari-hari ke depan akan menjadi perjuangan panjang untuk menerima bahwa kakakku, yang selamanya berusia 24 tahun, tidak akan pernah kembali.