Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Garis lurus muncul. Dingin. Final. Di monitor, detak jantung Erna berhenti.
Konon, otak akan menyala sebentar. Tujuh menit untuk memutar memori paling murni.
Menit pertama. Bisikan rahasia di bawah selimut tebal, napas hangat kakaknya di telinga. Mereka tertawa, berbisik lebih pelan. Jari-jari kecil saling bertaut. Tak pernah terpisah.
Menit kedua. Air terjun. Kakinya tergelincir di batu lumut. Tangan kakaknya mencengkeram pergelangan tangannya, keras, sampai meninggalkan bekas merah. Jantungnya berdebar. Tawa mereka tertelan gemuruh air, tapi genggaman itu tidak pernah lepas.
Menit ketiga. Wajah-wajah sahabatnya. Sinta yang memberinya tisu saat menangis. Ratna yang membelanya di kelas. Tapi Erna ingat: ia belajar persahabatan dari meja makan, dari kakaknya yang selalu menyisakan bagian terbaik untuknya. Dari pelukan yang tidak perlu diminta.
Menit keempat. Laki-laki itu—suaminya—mendengarkan tanpa memotong saat ia bercerita tentang kakaknya sampai larut. Ia mengerti. Cinta yang ia terima darinya terasa familiar, seperti pulang.
Menit kelima. Anak-anaknya memeluknya sebelum tidur. Ciuman di kening. Dagu mereka bertumpu di pundaknya. Erna tahu pelukan ini. Tubuhnya mengingatnya sebelum otaknya sempat mengingat.
Menit keenam. Cucunya tertawa. Di sudut matanya, Erna melihat bayangan samar: lengkungan alis, bentuk senyum. Kakaknya, hidup lagi dalam wajah-wajah baru ini. Memori tidak mati. Ia hanya berpindah kulit.
Menit ketujuh. Layar hampir datar. Erna tidak lagi melihat perjalanan hidupnya. Ia melihat cincin utuh: dirinya dan kakaknya, memori yang menyatu, tak terpisahkan.
Ia menyadari: mereka tidak pernah berada dalam memori satu sama lain.
Mereka adalah memori yang sama.
Garis lurus itu tidak membekukan apa pun. Ia hanya menandai di mana satu bentuk berakhir, dan bentuk lain—abadi, tanpa nama—dimulai.