Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Goodbye Goodbye
1
Suka
3
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Raga terbangun siang itu dengan rasa kantuk menempel di seluruh tubuhnya. Ia bangkit, mengambil segelas air dari galon, meminumnya perlahan, lalu keluar kamar. Koridor kos terasa lembap dan suram. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi, menyalakan keran, dan membasuh muka berkali-kali. Saat kembali ke kamar, langkahnya ringan tapi ragu, seperti ada sesuatu yang tidak beres sejak bangun tidur.

Di kamar, ia menatap dirinya di cermin besar yang menempel di lemari. Wajahnya tampak lesu, mata cekung, seperti baru kalah soliter dari dirinya sendiri. Ia menyentuh pipi dan dagu, memastikan wajah itu masih miliknya. Tapi semakin lama ia menatap cermin, semakin asing rasanya.

You… talk to me?” gumamnya lirih.

Ia mengulanginya, lebih keras. “You talk to me? Huh?

Tawa getir meluncur, lalu ia menepuk wajahnya sendiri, seakan berharap bayangan dalam cermin membalas. Namun cermin tetap menjadi cermin, dan Raga tetap sendirian.

Turun ke warung Madura di ujung gang, Raga disambut Yoyok, penjaganya.

“Kopi hitam satu. Mie instan satu,” katanya dengan suara parau.

“Baru bangun ya, Mas? Kok ngantuk banget,” kelakar Yoyok.

Raga hanya mengangguk dan kembali ke kos. Di depan deretan kamar, ibu-ibu kos duduk bercengkerama, seperti biasa. Sarti meliriknya sambil tersenyum.

“Beli apa, Ga?”

“Kopi, Bu,” jawabnya pendek.

Semuanya terasa biasa. Terlalu biasa, sampai rasanya asing.

Malamnya, kamar dipenuhi suara jangkrik. Raga menatap layar HP sambil bermain game, hingga telepon dari ibunya masuk.

“Masih suka sendiri di kos? Cari teman dong,” suara ibunya terdengar akrab, hangat, tapi juga membuat dada Raga sesak.

“Iya, Bu… aku baik-baik aja.”

Ia menutup telepon, mencoba tersenyum, lalu keluar ke balkon. Dari atas, ia bisa melihat ibu-ibu kos masih berkumpul, tertawa kecil. Suara mereka samar, seperti jauh dari dirinya, padahal hanya beberapa puluh meter.

Beberapa hari kemudian, siang yang hening pecah oleh suara ketukan keras di pintunya.

“Mas… tolong… tolong belikan galon… aku sakit…”

Parmi berdiri di depan pintu, pucat, mata merah, napas tersengal. Raga langsung keluar, membeli galon, lalu mengikuti perempuan itu ke kamarnya.

Begitu galon terpasang, tiba-tiba Parmi bangkit dari kasur seperti sesuatu baru menggerakkannya dari dalam. Matanya merah menyala, tubuhnya bergetar kecil. Ia langsung menerkam dispenser, meneguk air dengan cara yang bukan lagi manusia—rakus, kasar, tak terkendali.

Raga mundur. Jantungnya memukul-mukul dadanya. Ada yang salah. Sangat salah.

Malam berikutnya, berita di HP mengatakan virus misterius menyebar di Bandung. Warga diminta waspada. Raga membaca dengan tangan gemetar. Kamar yang biasanya jadi tempat paling aman tiba-tiba terasa sempit. Suara jangkrik terdengar makin jelas, seperti mengejek ketenangannya.

Saat ia tidur, suara langkah berat di koridor membangunkannya. Raga merayap ke jendela kecil dan mengintip.

Parmi.

Wajahnya pucat, mata merah menyala, tubuhnya bergerak seperti boneka rusak. Suara geramannya serak, menyayat.

Raga menutup jendela secepatnya.

Pagi harinya, kos sudah berubah. Tidak ada suara orang mandi, tidak ada ibu-ibu ngobrol, tidak ada langkah kaki menuruni tangga. Semua sepi seperti dunia berhenti bergerak.

Di gang, warung-warung tertutup. Jalanan kosong. Tidak ada siapa pun. Seakan seluruh manusia menghilang dalam semalam.

Raga berjalan cepat, napasnya memburu, hingga melihatnya—sesosok mayat tergeletak di tanah. Pucat. Kaku.

Ia menutup mulut, mengeluarkan HP, menelepon siapa pun. Tidak ada jawaban. Tidak ada siapa-siapa.

Suara dunia hilang.

Ia kembali ke kos, mengunci pintu kamar. Telepon ibunya tak tersambung. Seluruh tubuhnya gemetar. Ketakutan tumbuh seperti jamur, membelit tengkuk.

Malam tiba lagi, membawa video-video viral tentang zombie di jalanan. Beberapa orang masih menganggapnya settingan, tapi Raga tahu… ia sudah melihat sendiri bagaimana mata Parmi berubah.

Ia mencoba tidur, tapi suara geraman dari luar membangunkannya.

Raga keluar kamar.

Koridor gelap dan panjang. Lampunya kedap-kedip. Di ujung sana, balkon lantai dua menyajikan pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Puluhan zombie berkeliaran di bawah. Tubuh mereka bergetar, mata merah, gerakan tidak wajar. Geraman mereka seperti sungai kecil yang mengalirkan ketakutan.

Ketika ia berbalik, Parmi berdiri di ujung koridor. Wajahnya kosong, mata merah menyala, tubuhnya merayap perlahan.

Raga mundur, terpojok. Di bawah zombie. Di depan zombie. Tidak ada jalan keluar.

Parmi menerjang.

Raga merasakan gigitannya—panas, tajam, mengiris sampai tulang. Dunianya runtuh dalam hitungan detik.

Malam terakhir itu, lagu dari boyband iKON berjudul “Goodbye Road” mengalun samar dari speaker mini di kamarnya. Ironis, seperti lagu pamit dari kehidupan.

Raga—yang dulu suka menyisir rambut sembarangan, suka bicara pada cermin, suka menunduk sopan pada ibu-ibu gang—kini berjalan kaku, lambat, matanya kosong.

Di antara suara jangkrik dan alunan musik yang sendu, Raga menjadi bagian dari kengerian yang menelan kos itu.

Dan di kamar sempit itu, dunia berakhir dengan tenang.

Goodbye, goodbye…

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Goodbye Goodbye
Rifin Raditya
Flash
Bronze
Mantan Biduan
Afri Meldam
Novel
Bronze
6nam
Nikodemus Yudho Sulistyo
Novel
Bronze
Tumbal Majikan
Diani Anggarawati
Novel
Bronze
Lenting
A.R. Rizal
Flash
Rumah Kunci
Putri Rafi
Novel
JANN
Big boss
Flash
Jurit Malam
Ravistara
Novel
MELU
Endah Wahyuningtyas
Novel
KHADAM
Husni Magz
Flash
Ritual Gerhana Bulan Merah
Athar Farha
Flash
Bronze
Janin
Bakasai
Flash
Bronze
Rencana Besar
Carolina Ratri
Flash
LOSER
Rama Sudeta A
Cerpen
Bronze
Rig Minyak
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Flash
Goodbye Goodbye
Rifin Raditya
Novel
Mengejar Dosa
Rifin Raditya
Flash
25 12
Rifin Raditya
Cerpen
Gua Aspas dan Tiga Bersaudara
Rifin Raditya
Flash
Mulas
Rifin Raditya
Cerpen
Tak Sampai ke Long Jenew
Rifin Raditya