Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
No. 0415-24112082
“Selamat datang kembali, Erna,” sapa petugas di depanku.
Aku hanya tersenyum. Setelah lima puluh tujuh tahun menanti, akhirnya aku meninggalkan bumi. Tempat ini mungkin surga, atau hanya ruang tunggu tak bernama.
Tugasku sudah tercapai. Hidupku sudah berakhir. Kisahku telah menjadi kitab yang selesai. Sekarang, aku berada di tempat yang kunanti-nantikan.
“Erna, kamu akan menunggu di rumah yang telah kami siapkan: rumah impianmu. Rumah kecil berhalaman luas penuh rumput di tepi danau,” jelas petugas.
Aku mengangguk. Ternyata benar, Tuhan menciptakan rumah terindah kita di sini.
Sejak datang, aku merasakan damai yang tidak pernah kurasakan di bumi. Namun, kedamaian ini terasa hampa. Sendiri. Tanpa orang-orang terkasihku.
“Apa aku bisa bertemu dengan keluarga lamaku?” tanyaku.
“Bisa, Erna. Kamu bisa mencarinya sendiri dengan bantuan petugas kami. Namun, kamu hanya bisa menemuinya jika mereka belum bereinkarnasi.”
Tempat yang kudamba-dambakan untuk berkumpul lagi, ternyata sedikit mengecewakanku. Reuni yang kudamba, ternyata berbatas syarat.
Aku menghabiskan waktu yang terasa abadi di ruang-ruang administrasi, mengisi formulir demi formulir, mengikuti arahan petugas yang suaranya datar. Setelah proses itu, aku keluar mencari rumahku. Rumah putih beraksen kayu di tepi danau. Rumah itu memiliki dua kamar. Entah siapa yang akan menempati satu kamar yang masih kosong itu.
Aku menunggu 57 tahun hanya untuk satu orang: kakak laki-lakiku.
Dia berumur 24 tahun ketika meninggalkan dunia. Rasa sakitnya tak terperikan. Dari tahun ke tahun, aku bertambah tua. Kulitku semakin keriput, tubuhku semakin membungkuk. Sementara kakakku, ia abadi di umurnya yang ke-24.
Berbekal informasi, aku mencari kakakku. Rumahnya tidak jauh, hanya perlu naik bus yang melewati rumahku.
Aku sampai di depan rumahnya yang berdesain sangat modern, kontras dengan rumahku yang sederhana.
Aku memandangi rumah itu. Tak lama, seorang laki-laki yang sudah sangat lama kurindukan keluar. Tubuhnya tidak berubah, masih sama seperti terakhir meninggalkan bumi. Dia masih muda, berbeda dengan tubuhku yang sudah renta ini.
Kakakku keluar membawa kopi. Minuman kesukaannya, yang bahkan menemaninya ketika ia meninggalkan bumi.
Dia duduk di taman rumahnya, menyesap secangkir kopi. Dia membawa serta buku sketsanya. Aku yakin ia menggambar desain rumah. Apakah ia bekerja menjadi arsitek di sini? Apakah ia juga yang mendesain rumahku?
Setelah lama menatapnya, dia menyadari kehadiranku.
Namun, dia hanya melihatku dari kejauhan. Dia tidak mengenaliku, mungkin karena fisikku yang sudah berubah menjadi tua dan rapuh. Melebihi umurnya saat ia meninggalkan bumi.
Aku hanya terdiam. Air mataku bahkan tak bisa keluar.
Dia menaruh buku sketsanya, lalu berjalan mendekatiku.
Tubuhnya masih sama. Senyumnya tidak pernah berubah sejak terakhir kali aku melihatnya.
“Adek,” sapanya.
Ternyata dia mengenaliku. Dia memelukku.
Tubuh yang terakhir kali kusentuh 57 tahun yang lalu. Tubuhnya yang dulu sedingin es. Sekarang sudah kembali hangat.