Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dalam hitungan menit, halaman rumah Raina berubah menjadi kolam keruh yang menggigilkan kulit. Tanah yang biasanya keras kini lenyap di bawah arus cokelat yang terus naik. Hujan deras sejak subuh rupanya bukan sekadar “cuaca buruk” melainkan peringatan yang diabaikan, gema alam yang akhirnya meledak dalam bentuk bencana.
Raina keluar sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, tetapi panik yang menekan dada. “Bu! Cepat!” serunya, suaranya hampir tenggelam oleh deru air yang menghantam tembok.
Ibunya yang sudah tak lagi gesit berusaha menyingkirkan kursi yang mulai mengapung. “Sebentar… sebentar, Na,” ucapnya sambil menopang tubuhnya sendiri agar tidak jatuh. Air sudah mencapai betis, lalu lutut, dan terus naik seolah tak memberi kesempatan bernapas.
Dari kejauhan, suara teriakan tetangga bercampur suara barang-barang berhamburan. Anak-anak digendong ayah mereka sambil menangis ketakutan. Berbagai benda rumah tangga melintas seperti benda-benda tak bernyawa yang ikut panik: panci dapur terbawa hanyut, sandal-sandal berterbangan, dan sepeda motor tumbang seperti mainan ringan dalam genggaman alam.
“Raina! Ke sini!” panggil seseorang dari perahu karet yang mendekat. Seorang relawan berseragam oranye melambai keras-keras, wajahnya tegang namun tetap berusaha tenang.
Raina memapah ibunya menuju perahu. Arus makin kuat, membuat langkah mereka seperti berjalan melawan tangan raksasa yang mencoba menarik ke bawah. Tangan ibu Raina terasa dingin, namun genggamannya tidak pernah lepas. Begitu berhasil naik ke perahu, keduanya saling menatap, ada lega, ada takut, ada kenyataan pahit yang belum sempat dipikirkan.
Saat perahu bergerak menjauhi halaman rumah, Raina menoleh. Rumah kecil itu, dinding tempat ia dulu menempel gambar saat TK, dapur tempat ibunya memasak dengan senyum sabar, kamar sempit yang menjadi saksi semua tangis dan tawa kini terendam setengah badan. Atapnya seolah melambai pelan, seperti tengah menyerah pada amarah langit.
“Bu… kalau rumahnya rusak, kita tinggal di mana?” bisik Raina, suaranya pecah. Ia tidak tahu apakah itu air hujan atau air mata yang mengalir di pipinya.
Ibunya menatap ke depan, menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. Senyum yang tidak benar-benar kuat, tapi masih mencoba bertahan. “Yang penting kita masih punya satu sama lain, Nak. Rumah bisa dibangun lagi… hidup tidak.”
Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti pelampung yang dilemparkan ke tengah badai. Raina mengangguk, mengusap pipinya, mencoba menstabilkan suara hatinya sendiri.
Di atas perahu yang terombang-ambing, diseret oleh arus menuju tempat yang lebih aman, Raina memeluk tas kecilnya lebih erat. Dunia mereka sedang berubah dalam satu hari.
Musibah memang datang tanpa mengetuk, menghancurkan tanpa memberi waktu bersiap.
Perahu terus bergerak menjauh, meninggalkan suara-suara panik yang perlahan berubah menjadi gema jauh di belakang mereka. Raina menatap ke arah rumahnya yang semakin kecil dalam pandangan, seolah terbawa menjauh oleh jarak dan waktu sekaligus. Dinding yang dulu menjadi tempat ia bersandar setiap kali pulang sekolah, kini hanya tampak sebagai bentuk kabur di tengah lautan cokelat yang bergulung-gulung.
Atap rumahnya akhirnya tak terlihat lagi. Hanya ujung-ujung genting yang tenggelam perlahan, seperti seseorang yang menyerah perlahan tanpa suara. Raina merasakan dadanya sesak, seolah ada bagian dirinya yang ikut ditelan banjir itu.
“Bu…” suaranya nyaris tak terdengar.
Namun ibunya diam. Entah karena lelah, dingin, atau karena ia juga sedang merelakan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan. Tangan ibunya tetap menggenggam, tapi tidak sekuat tadi, lebih seperti pegangan seseorang yang sedang menerima kenyataan pahit.
Raina akhirnya memalingkan wajah, tapi sebelum ia benar-benar menutup pandangan, ia sempat melihat satu hal terakhir: jendela kamar kecilnya yang terbenam sepenuhnya di bawah air. Tempat ia bermimpi, menulis, dan tertawa sendiri, hilang begitu saja.
Di atas perahu yang terus melaju, Raina menunduk. Tidak ada kata-kata penyemangat yang muncul di kepalanya kali ini. Yang ada hanya hening yang berat, dan rasa kehilangan yang merayap pelan namun pasti.
Hujan masih turun, tapi kini terasa berbeda seperti ikut berduka bersama mereka.
Dan dari kejauhan, rumah itu menghilang.
Membawa serta sebagian dari hatinya yang tak akan pernah kembali utuh.