Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan mulai turun sejak dini hari, awalnya hanya seperti biasa, rintik lembut yang meninabobokan kampung kecil itu. Tetapi menjelang pagi, suara hujan berubah menjadi dentuman berat, seolah langit sedang menumpahkan seluruh isinya tanpa jeda.
Ibu Sari berdiri di depan pintu rumah, memandang halaman yang mulai tergenang. “Arga, jangan ke mana-mana, ya,” ucapnya sambil menutup jendela yang bergetar diterpa angin.
“Iya, Bu,” jawab Arga. Bocah tujuh tahun itu masih semangat, memainkan perahu plastik kecil di genangan depan pintu. “Hujannya seru banget!”
Ibu Sari ingin menegur, tapi melihat anaknya tertawa membuat kekhawatiran itu sedikit luluh. Setidaknya dia masih bisa bahagia meski cuaca begini, batinnya.
Tapi satu jam kemudian, semuanya berubah.
Air tiba-tiba naik, bukan lagi genangan, melainkan arus. Warga berlarian, beberapa mengetuk pintu tetangga, sebagian menjerit memanggil keluarga mereka. Sungai yang berjarak ratusan meter dari kampung meluap, menghantam pemukiman seperti ular besar yang lepas kendali.
“Sari! Airnya sudah naik tinggi! Ayo keluar!” teriak salah satu tetangga.
Ibu Sari membeku sejenak sebelum akhirnya menoleh. “Arga! Ayo, Nak! Pegang tangan Ibu!”
Tapi Arga sudah lebih dulu berlari ke arah pinggir jalan, tempat air sedang mengalir deras. “Perahuku hanyut, Bu!” teriaknya panik, mencoba meraih mainannya yang terbawa arus.
“Arga! Jangan! Itu bahaya!”
Ibu Sari berlari secepat mungkin, namun langkahnya terhambat air yang tiba-tiba mencapai pinggang. Arus semakin kuat, mendorong apa saja yang dilewatinya : bangku plastik, ember, pakaian, bahkan sepeda motor tumbang seperti barang mainan.
“Arga! Kembali ke Ibu! Tolooong!”
Teriakannya tenggelam dalam suara gemuruh air.
Arga akhirnya menoleh. Matanya ketakutan. “Bu… Bu, aku...”
Kata-katanya terputus ketika arus mendadak menghantam tubuh kecilnya.
“AARGAA!”
Ibu Sari menerjang air, tangan terjulur, jari-jari hampir menyentuh baju anaknya. Namun arus lebih cepat. Lebih kuat. Lebih kejam. Dalam beberapa detik, Arga terseret, tubuhnya menghilang di antara sampah, lumpur, dan pusaran air.
Warga mencoba menahan Ibu Sari ketika ia ingin menyusul ke tengah arus. “Sari! Jangan! Kamu bisa ikut hanyut!”
“Tapi itu anak saya! Lepaskan!”
Tangannya gemetar. Napasnya tersendat. Suaranya pecah, namun tak ada jawaban selain gemuruh hujan.
Relawan datang belakangan dengan perahu karet, berusaha menyisir aliran banjir. Nama Arga diteriakkan berkali-kali, dari ujung kampung hingga ke jalan besar. Namun tidak ada balasan. Hanya suara pintu rumah yang roboh dan benda-benda terbawa arus sebagai saksi bisu.
Menjelang sore, hujan mereda. Air mulai turun perlahan, meninggalkan lumpur pekat yang menutup jalan. Warga berkumpul, beberapa menangis, beberapa diam tak percaya dengan apa yang baru mereka lalui.
Ibu Sari masih duduk di ambang pintu rumahnya yang terendam setengah. Pelukan kedua tangannya merengkuh sesuatu, perahu plastik kecil Arga yang ditemukan tersangkut di pagar rumah tetangga.
Mainan itu dingin. Sunyi. Tidak lagi menyimpan tawa kecil yang biasa berlayar di atas genangan.
Matanya basah, bukan lagi oleh hujan, melainkan kehilangan yang tak bisa ia tawar. “Nak… Ibu sudah bilang jangan jauh-jauh…” bisiknya lirih. “Ibu sudah bilang…”
Tak ada suara kecil yang menjawab.
Tak ada langkah-langkah ceria yang kembali menghampir.
Hanya hujan yang turun lagi, pelan, seolah ikut menangisi nama Arga yang kini tinggal sebagai suara terakhir di tengah arus.