Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menatap jalan setapak dengan pintu gerbang yang terlihat berkarat. Keraguan menggerayangi hati, namun aku telah bertekad untuk kembali ke sini. Langkahku terdengar sangat jelas. Kuabaikan gemerisik dedaunan kering yang terinjak kedua kakiku yang tak bersepatu. Aku tak peduli jika yang lain akan terganggu dengan kehadiranku, karena yang terpenting sekarang adalah akhirnya aku bisa kembali menyapa yang tersayang. Kulambaikan tangan kananku dan kupercepat langkah begitu jarak di antara kami semakin dekat.
"Sudah sekian lama. Maaf baru datang ya, Nek. Nenek apa kabar?" Sapaku dengan senyum cerah, sambil kusingkirkan dedaunan kering di sekitar kami. "Nenek masih marah ya?" Tak ada jawaban. Keheningan bahkan masih menyelimuti.
Di sini, aku merasakan kedamaian. Momen yang kurindukan seolah telah kembali, membuatku terus mengoceh, menceritakan bagaimana hari-hariku terasa semakin berat. Biasanya aku menjadi pendengar cerita orang lain, namun tiap kali dekat dengan nenek, aku lah yang cerewet. Aku akan menceritakan segalanya, menangis, tertawa, bahkan menanyakan sesuatu yang tak bisa nenek jawab.
"Nenek pasti bingung, kan. Kenapa aku panas-panasan ke sini? Sebenarnya aku baru pulang kerja, Nek." Aku menyeka keringat dengan lengan kananku. "Nenek ingat aku pernah mengeluh ingin berhenti karena tempat kerjaku jauh? Lucunya, tempat kerjaku yang sekarang bahkan lebih jauh." Aku tertawa pelan, sambil sesekali menoleh ke sekeliling. "Tapi paling tidak, di tempat kerjaku yang sekarang, aku lebih dihargai. Aku juga tidak perlu minum obat-obat itu lagi."
Aku mendadak diam. Di sekitarku pun tak ada suara yang terdengar, mungkin hanya sesekali terdengar suara klakson mobil di kejauhan. Aku menatap kosong udara di depanku, entah mengapa berkali-kali hembusan napasku terdengar berat.
Dadaku terasa sesak, rasa seperti ingin menangis namun dengan sekuat tenaga aku mencoba menahannya. Sekelebat rasa penasaran muncul. Kutatap sekeliling sebelum akhirnya aku berbisik.
"Jika waktu bisa diputar kembali, Nenek mau kembali ke tahun berapa?" Tanpa menunggu jawaban dari nenek, aku kembali berucap, "kalau aku, aku ingin kembali ke 2019. Hari di mana aku harus ke rumah sakit dengan Ibu. Padahal aku bisa pergi sendiri kan, Nek? Kenapa aku harus mengiyakan saat Ibu ingin menemaniku? Harusnya aku minta Ibu menemani Nenek saja di rumah."
Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu. Aku menghela napas panjang ketika harus mengingat momen yang membuatku menyesal hingga kini. Obat yang kudapatkan hari itu bahkan tidak kuminum. Entahlah, rasanya aku marah pada diriku sendiri. Demi mendapatkan obat itu, aku dan ibu harus menunggu setengah hari di rumah sakit. Demi obat itu, ibu tidak bisa menemani nenek di rumah.
"Kalau Nenek ingin marah, marah saja," bisikku pelan. "Aku juga marah pada diriku sendiri."
Di saat seperti itulah aku berharap nenek akan benar-benar mengomel dan merutuki kekanak-kanakanku. Namun lagi-lagi hanya keheningan yang kudapatkan. Desiran angin yang kuharap sesekali hadir pun bahkan tidak kurasakan.
"Ah, aku hampir lupa." Kubuka resleting tas ranselku, dan kukeluarkan sekantong plastik putih berisi berbagai macam bunga segar. "Semoga bunga-bunga ini bisa sedikit menebus kesalahanku."
Kutaburkan kelopak demi kelopak dengan gerakan hati-hati, seolah aku tengah mengembalikan warna di antara tanah kering yang kusam. Tanah di depanku telah lama tak terusik. Bisa dihitung dengan jari berapa kali kami sekeluarga mengunjungi tempat ini.
Setelah kelopak terakhir jatuh melewati jariku, kutangkupkan kedua tanganku. Mataku terpejam, doa-doa terpanjat bersamaan dengan bulir air mata yang perlahan mengalir. Tak ingin terlihat rapuh, aku segera menyeka air mata itu sebelum jatuh membasahi tanah di hadapanku.
"Nek, bagaimana rasanya di sini?" pertanyaanku hanya dijawab gemerisik dedaunan di atasku. "Kadang aku ingin ikut Nenek, tapi sebenarnya aku pun takut."
Aku merapikan kelopak-kelopak bunga yang tadi kutaburkan, memastikan semuanya tetap berada di sana. Sesaat aku hanya diam, sebelum akhirnya suara adzan berkumandang. Keheningan yang semula menyentuhku, kini mendadak hilang.
"Nenek. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Jangan lupa datang lagi ke mimpiku." Kutekan ujung jariku ke tanah, kemudian kuelus pelan batu nisan yang terukir nama nenek. Itu sudah seperti salam terakhir yang biasa kulakukan.
Sebelum melangkah pergi, kutatap sekali lagi tempat yang sudah lama kukenal. Tempat peristirahatan kakek, nenek, serta kerabat yang telah lebih dulu berpulang. Kuangkat tangan kananku sebatas dada, dan kulambaikan tanganku pelan. Perpisahan kali ini terasa canggung. Kusunggingkan senyum sebelum akhirnya aku berbalik, karena nenek tak pernah suka melihat air mataku jatuh untuk menangisinya.