Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Alya pulang larut malam lagi. Semua penghuni kos sudah tidur seperti biasa, apalagi hujan mengguyur kota sejak siang tadi belum berhenti.
Ia membuka pintu kulkas untuk mengambil coke dingin. Seperti kebiasaannya, ia menempelkan sticky note kecil berwarna kuning.
“Untuk siapa pun yang makan pudingku lagi, semoga hidupmu tetap manis walau mencuri.”
Ia tersenyum sendiri. Candaan kecil itu menjadi caranya bertahan dari hari-hari yang terasa kosong. Tak pernah ada yang membalas. Penghuni kos terlalu sibuk dengan dunia masing-masing.
Namun keesokan paginya, Alya membeku.
Tepat di bawah pesan itu, menempel sticky note biru.
“Pudingmu enak. Maaf. Aku butuh manisannya malam itu.” —Kamar Baru
Jantung Alya berdebar.
Ada penghuni baru? Sejak kapan?
Kos itu memang kedatangan satu penyewa baru minggu ini. Tapi kamar itu selalu tertutup. Tak pernah terdengar suara. Tak pernah terlihat bayangan.
Malam itu, Alya membalas:
“Kalau mau, minta saja. Tapi kalau mencuri lagi, aku pukul pakai sendok puding.”
Esok paginya:
“Deal. Tapi sendok pudingmu kelihatan sadis.”
Alya tertawa kecil.
Entah sejak kapan, dapur kos terasa menjadi ruang paling hangat.
***
Hari-hari berikutnya, mereka mulai saling bercakap lewat sticky note. Tentang kopi pahit, tentang hujan yang tak pernah adil, tentang tetangga kos yang bernyanyi sumbang saat mandi.
Suatu malam Alya menulis:
“Hari ini aku capek jadi manusia.”
Balasannya sudah ada saat pagi:
“Kalau kau mau, aku bisa membuatkan teh hangat. Aku tak bisa menyelamatkan hidupmu, tapi setidaknya teh buatanku bisa menghangatkan hatimu.”
Sticky note itu terasa menyentuh, dan ia simpan di buku hariannya.
***
Sejak itu, Alya selalu menunggu. Tapi juga diliputi penasaran, makanya hari ini ia mencoba menanyakan sesuatu yang lebih pribadi.
“Apa pekerjaanmu?”
“Sementara ini, bertahan agar pikiranku tetap waras.”
“Yang serius.”
“Animator freelance. Aku menggambar agar tak tenggelam.”
Keduanya saling berbalas.
Suatu malam Alya menantang:
“Kalau kau animator, gambar aku.”
Balasannya muncul mengejutkan:
“Sudah.”
Tak ada gambar.
Hanya satu kata itu.
"Maksudmu?"
Tak ada balasan, tapi sejak saat itu, sticky note itu makin jarang tertempel di kulkas kosan. Alya gelisah untuk pertama kalinya.
***
Suatu malam ia memergoki sosok laki-laki di dapur. Cahaya kulkas membelah siluet wajah setengahnya. Ia terkejut. Sosok itu menutup pintu kulkas cepat-cepat dan menghilang ke lorong.
Esoknya, di kulkas tertempel sticky note:
“Maaf, semalam. Bukan waktu yang tepat.”
Empat hari kemudian:
“Ketika aku yakin kau tak akan membenciku.”
"Aku tak mencintai wajahmu. Aku mencintai caramu bertahan.”
Balasan datang cepat:
“Jangan buat aku berharap.”
***
Hujan turun deras malam itu. Listrik padam. Satu-satunya cahaya berasal dari kamar penghuni baru. Alya mengetuk pintu pelan.
Tak ada jawaban.
Ketika pintu terbuka sedikit, ia melihat laki-laki itu menunduk di meja gambar.
“Aku Alya,” katanya.
“Aku tahu.”
“Namamu?”
“Revan.”
Ia memperlihatkan luka memanjang dari pipi ke rahang. Namun bukan luka itu yang mengejutkan Alya melainkan ketakutan di matanya.
“Orang bilang wajahku menakutkan.”
Alya menggeleng.
“Aku justru takut jika kau berhenti menulis untukku.”
Revan tertawa lirih.
***
Esok paginya, satu sticky note menunggu:
“Terima kasih sudah menemani bagian diriku yang ingin hidup.”
Alya menggigil.
Pintu kamar Revan terbuka. Kosong. Hanya tersisa satu gambar dirinya, dan di belakangnya, bayangan laki-laki yang berdiri jauh.
Revan menghilang.
***
Setahun kemudian, Alya melihat pameran bertajuk Wajah yang Tak Terlihat.
Di salah satu sudut, tergantung satu lukisan.
Dirinya.
Di bawahnya tertulis:
Revan Pratama (1999–2024)
Keterangan kecil di bawahnya membuat lutut Alya lemas:
“Revan meninggal tiga hari sebelum pameran ini dibuka. Seluruh karyanya dibuat dari kamar kos yang tak pernah ia tinggalkan.”
Alya menatap tanggal di bawahnya. Tanggalnya sama persis dengan hari ketika Revan pertama kali membalas sticky note-nya.
Tenggorokannya tercekat.
Ia akhirnya mengerti.
Sejak awal, ia tidak berbincang dengan seseorang yang hidup.
Ia berbincang dengan seseorang yang "penasaran", karena sedang berpamitan pada dunia.
***
Malam itu, Alya menempelkan satu sticky note di cermin kamarnya:
“Terima kasih sudah memilih hidup, walau hanya sebentar.”
Tak ada balasan.
Memang!
Dan untuk pertama kalinya, Alya tahu, bukan karena Revan tak mau membalas, melainkan karena ia sudah benar-benar pergi.