Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Arham! Temani yuk," pintaku sambil memegangi perut. Rasanya mules sampai ke ubun-ubun.
"Kemana?" tanya Arham, polos.
"Toilet! Ayo cepat!" Aku langsung menarik lengannya.
Kami berlari keluar kelas. Guru sedang pergi, jadi kelas sedang bebas. Kami menuju WC belakang sekolah yang… yah, kondisinya bahkan setan saja pasti mikir dua kali buat nongol di situ.
Bak WC cuma terbuat dari belahan drum oli yang sudah karatan. Pembatasnya kayu tipis yang kalau ditiup angin kencang mungkin ikut roboh. Gelap pula. Anak-anak di sekolah bilang WC itu angker: dari cerita tangan buntung sampai kepala buntung, pokoknya yang buntung-buntung ada di sini. Aku sih nggak takut—yang kutakuti cuma satu: mulesku tumpah sebelum waktunya.
Masalahnya, saat kami sampai, bak WC kosong melompong. Kering. Sial! Cobaan macam apa ini oh Tuhan??
Akhirnya kami harus menimba air dari sumur depan WC. Sumur yang katanya pernah memakan korban. Dan melihat kondisinya… iya sih, masuk akal. Licin, tanpa pembatas, dan sepertinya kedalamannya bisa mencapai dunia lain.
Arham mengambil ember yang diikat tambang. Aku berdiri sambil menahan mules yang sudah berada di fase "final boss".
Arham melemparkan ember ke dalam sumur. Gagal.
Dicoba lagi. Gagal.
Dicoba lagi. Tetap gagal.
"Arham, kamu ini… pernah menimba air nggak sih?" wajahku sudah pucat, bukan karena hantu, tapi karena isi perutku ingin segera kemerdekakan.
"Kita cari sungai aja!" Aku langsung lari seperti atlet, Arham mengekor di belakang.
"Di mana sungainya?" tanyaku sambil berjinjit-jinjit.
"Kayaknya… di sana," jawab Arham ragu.
"Kenapa nggak dari tadi sih!"
"Kupikir kamu lebih tau—"
"Udah, jalan!"
Kami berjalan cepat. Aku masih sempat mengambil batu kecil buat kusembunyikan di saku—kata orang tua, buat nahan mules. Entah ilmu dari mana itu, tapi aku pasrah, siapa tahu cara ini ampuh.
"Masih jauh nggak?!" bentakku. Suaraku setengah marah, setengah sekarat.
"Dikit lagi!"
Tapi tubuhku sudah menyerah. Keringat dingin mengalir. Kakiku gemetar. Dunia terasa berputar-putar seperti kipas angin rusak.
Dan akhirnya…
"BROOOTTT!"
Arham langsung berhenti. Matanya membesar seperti ikan gurame.
"Suara apa itu?"
Aku menunduk. Rasanya aku ingin hijrah ke planet lain.
"E… anu," jawabku lirih.
"Kamu… berak di celana?"
Aku menutup wajah. "Arham… biarkan aku jelaskan di sungai nanti."
Arham cuma menatapku lama, tertegun dan terheran-heran.