Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Orang Kota.”
“Apa mengasuh anak dengan cara seperti itu biasa mereka lakukan?” Surayem–perempuan hampir satu abad memperhatikan.
Rahangnya naik turun mengunyah kapur sirih, Chika dan Rima dua meter darinya terus bernyanyi, mengikuti gerakan dari layar sebesar buku.
Surayem tidak mengerti benda itu. Mirip televisi setipis asbes. Surayem melirik lemari jati di sisi kiri, tempat televisi usang miliknya diletakkan.
Saat menonton televisi, Surayem ditemani gagang sapu. Selain untuk menopang tubuhnya saat berjalan, gagang sapu itu biasa ia gunakan untuk memukul-mukul televisi agar menyala.
“Hujan-hujan pergilah, datanglah lain hari.”
“Chika ingin bermain, hujan..hujan…pergilah!”
Surayem naik pitam. Benda itu bukan hanya membuat cucu dan cicitnya terasa jauh, mereka bahkan berani mengumpat hujan. Sungguh lagu yang mengaburkan aqidah.
“Hujan adalah rahmat, apa orang-orang kota itu tidak belajar?” Surayem mendengus kesal. Beranjak dari amben bambu.
“Titenono!” Surayem pergi dengan gagang sapu.
Gerak lincah, dan suara melengking Chika padam bersama tegangan listrik yang tidak lagi bekerja.
“Bunda, Chika takut!” Chika menghambur tubuh Rima–ibunya. Malam di desa kaki gunung itu semakin pekat.
Surayem tersenyum, layar tipis itu tergeletak seperti televisi usangnya. Chika tidak lagi asyik dengan lagu dan tarian aneh. Gadis kecil berponi itu mulai bercerita tentang hari-harinya di kota.
Hal paling menyenangkan bagi seorang nenek buyut adalah menyaksikan anak–cucu–cicitnya tumbuh. Seperti benih-benih padi gogo rancah yang dulu sering Surayem semai.
Temaram lampu sentir menyatukan generasi lintas usia. Gelagak tawa seakan memenuhi sungai-sungai rindu yang mengering di hati Surayem. Sebelum dirinya genap menjadi kepingan malam yang abadi, esok, atau lusa.
Diantara jeda-jeda tawa, terbesit penyesalan dalam hati Surayem, harusnya sejak tiga hari lalu dia memukul tuas kecil di sekring listrik dengan gagang sapu miliknya.