Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Pa! Label ini untuk apa?" tanyaku ke papa saat melihat papa melabeli alat tulisku dengan namaku.
"Ini untuk menandai kepunyaan Lala, biar enggak hilang atau tertukar dengan milik orang lain," jawab papa.
"Hilang? Tertukar?" tanyaku bingung.
Papa mengangguk sambil tersenyum. Satu pertanyaan tiba-tiba terlintas di pikiranku terkait ini. Sontak aku menanyakannya ke papa, "Pa! Apa itu sama kayak Papa bisa saja tertukar dengan papa orang lain?"
"Eh? Hm … bisa dibilang begitu." Papa masih tersenyum. Kumis tebal papa melengkung ke atas mengiringi senyumannya.
Kalau benar begitu, berarti aku harus mengamankan papa. Enggak boleh ada orang lain yang jadi papaku. Papa juga enggak boleh jadi papa orang lain. Papa hanya punyaku seorang ... dan punya Mama juga tentunya.
Aku lalu meraih label lain yang masih kosong. Kutulis namaku besar-besar di sana, lengkap dengan gambar kumis seperti kumis papa di akhir.
Pelan-pelan aku melangkah ke hadapan papa. Lantas menempelkan label tersebut di keningnya. Ditepuk-tepuk sebentar agar menempel erat. Aku tersenyum geli melihat hasilnya. Apalagi ketika melihat raut wajah papa yang kebingungan.
"Kenapa ini ditempel di kepala Papa?" tanya papa.
"Karena Papa punya Lala!" Aku berseru riang, siapa coba yang tidak senang punya papa kayak papaku.
Papa terdiam, akan tetapi detik kemudian dia tersenyum. Lagi-lagi kumis papa melengkung naik. Haha, itu lucu.
"Kalau begitu, mau buatkan satu untuk Mama?" Papa menyodorkan satu label yang masih kosong.
Aku mengangguk setuju. Itu ide yang sangat bagus. Apa, yah, yang harus kugambar di akhir namaku nanti? Aku ingin menanyakannya ke papa, tapi papa izin mengangkat telepon dulu. Kalau begitu, label mama kugambari bunga saja, deh. Mama, 'kan, suka bunga.
Tak lama, aku berhasil gambar bunga yang cantik. Bunga yang kugambar adalah salah satu bunga yang sering dirawat mama. Namun, akhir-akhir ini mama tidak bisa merawatnya karena sakit. Untung saja aku anak baik, aku bisa merawat bunga itu untuk Mama.
"Lala mau bertemu Mama untuk menempelkan itu?" tanya Papa setelah menelepon.
"Mau!" seruku senang. Aku harus segera menempelkan label ini di kening mama.
***
"Mama! Lala punya—eh?" Aku menggenggam tangan mama yang tertidur. Aneh, kenapa tangan Mama begitu dingin? Padahal Mama pakai selimut, kok.
"Pa! Kenapa tangan Mama dingin?"
Papa tidak menjawab pertanyaanku. Papa malah tersenyum, senyum yang untuk pertama kalinya tidak aku suka.
"Lala ingat, 'kan? Allah sayang Mama. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk Mama dipanggil Allah ke sisinya." Papa berujar lirih.
"Apa itu berarti Mama enggak akan balik? Padahal Lala juga sayang Mama. Apa karena Lala tidak menempelkan label ini, makanya Allah tidak tahu kalau Mama punya Lala?"
Tenggorakanku tercekat. Sedari tadi aku menahan tangis agar label milik Mama tidak basah oleh air mataku. Tanganku pun tergerak untuk menempelkan label bertuliskan 'Lala' ke kening Mama. Aku mengecup lama dahi dingin itu.
Sekarang, Allah lihat, 'kan? Jangan ambil mama, Ya Allah. Mama punya Lala.
***