Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kuusap pipiku sendiri. Basah. Kemudian mengetuk layar ponsel dua kali. Pukul 16.47. Sudah satu jam tujuh belas menit aku tertidur sehabis menangis dalam lipatan tangan. Pasti sekolah sudah sepi. Benar saja, tak kudapati seorang pun di dalam kelas.
Tapi, tunggu. Ada sesuatu yang kukenali di meja paling depan. Tumbler hijau berstiker kaktus itu datang lagi. Seperti biasa, ada secarik kertas di bawahnya.
Kelip: cahaya kecil yang terputus-putus.
Tetapi tahukah? Tanpa cahaya, maka tidak akan ada kelip. Jadi, Kelip, kau boleh saja meredup, tetapi nanti bercahaya lah lagi ... oke?
Diam-diam aku tersenyum. Kukantongi secarik kertas tersebut, kemudian kusesap teh rosela di dalam tumbler. Aku tahu karena ini sudah yang ke dua belas kali aku menerimanya. Dan pada secarik kertas saat pertama kali kuterima tumbler ini, pemiliknya sudah berpesan: tolong minum di tempat dan letakkan di mana kau mendapatkannya.
Walaupun isiannya sudah dingin. Tetapi kutebak, ketika Si Kaktus itu meletakkannya tadi, pasti masih hangat-hangat kuku. Sesuai dengan kesukaanku. Mengingat itu, suasana hatiku jadi membaik.
Esoknya, tumbler hijau itu datang lagi. Kali ini ketika istirahat siang. Kebetulan aku sempat merapikan dandanan sebentar di kamar mandi dan balik-balik, sudah ada pemberian Si Kaktus. Nova, teman sebangku yang keluar bersamaku tadi kesusahan menahan diri untuk tidak heboh.
"Ya ampuunn! Kelip, Kelip! Dia lagi?" desisnya padaku.
Aku mengambil secarik kertas yang ditimpa tumbler tersebut.
Hari ini, teh rosela dingin. Karena kulihat kau menghangatkan banyak orang pagi ini. Hampir seisi sekolah kau sapa dengan riang. Tetapi aku tahu kau belum benar-benar melupakan kesedihan kemarin. Makanya aku tambahkan sedikit gula kali ini. Semoga harimu manis sampai nanti malam.
Senyumku terbit tak terkendali. Membuat Nova semakin gencar menggodaku.
"Jadi, Mama sungguh-sungguh tidak menyesal? Sedikitpun? Papa, kan, bukan tipe yang lembut, peka, tampan, romantis dan kaya raya." Eisa menatapku keheranan.
"Sedikitpun," jawabku yakin.
"Hanya karena satu tumbler teh rosela yang dibuatkan Papa setiap hari? Aneh banget."
Aku menggumam sebentar. "Mungkin karena menurut hati Mama, itu adalah bukti kalau sayangnya Papa ke Mama nggak pernah berubah."
Eisa mendengus. "Ternyata benar. Tidak ada cinta yang tidak buta."