Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Maaf, aku harus pergi.” Kataku pada Bela. Sosok yang sudah menemani keseharianku saat bekerja di kota Tangerang. Hampir 2 tahun kami memiliki kantor bersebelahan. Dan kini, aku harus pergi. Kontrak kerjaku akan segera berakhir
Bela terdiam, matanya fokus pada mataku. Senyumnya datar, raut wajahnya sangatlah menyedihkan.
“Kamu pasti balik lagi kesini kan?” tanya dia. Aku mengangkat kedua bahu. Sebuah respon tubuh atas ketidaktahuan tentang jalan hidup di masa depan.
“Aku gak janji,” jawabku.
Kami berjalan di sepanjang trotoar jembatan. Sungai terlihat damai, burung-burung begitu santai mengudara di atas kami. Namun sialnya, tidak dengan hatiku. Gelisah dan cemas bersatu dalam waktu yang sama. Tepat di tengah jembatan, aku mengajak Bela berhenti sejenak.
“Bel, bengong disini dulu yuk,” kataku sambil melihat matahari yang akan segera terbenam. Dia mengangguk, lalu mengambil kamera kecilnya.
Lalu dia mengungkapkan permintaan, “Sebelum kamu pergi, aku ingin foto denganmu secara siluet. Yuk!”
“Gak mau selfie aja?” tanyaku.
Bela mengangguk, “Gak mau begitu, lebay! Kamu juga tau, instagramku udah estetik lho!” lalu aku sejenak tertawa meledeknya.
Kamera diletakkan sekitar 20 meter dari kamu berdiri. Waktu potret otomatis dinyalakan, membuat kami perlu berpose dengan baik.
Cekrek! Sebuah suara notifikasi tanda memotret sudah terdengar. Dan hasilnya sungguh memuaskan. Benar-benar estetik sesuai selera Bela.
“Ih lucu banget!” Bela senangnya bukan main. Dia beberapa kali meloncat, tak peduli sedang berada di jembatan.
“Hey, pelan-pelan. Ini kita lagi diatas jembatan. Kalau rubuh gimana?”
Bela cemberut, “Aku gak seberat itu yah!”
Kami berdua tertawa bersama. Matahari terbenam menjadi saksi, burung diatas kami yang sedang terbang juga rasanya mendengar tertawa kami.
“Nath,” ucap Bela ditengah tawa kami.
“Ya?”
“Meski nanti kita berjauhan, teknologi tetap bisa membuat kita dekat. Jangan benar-benar pergi ya?”
Mendengar itu, mataku melotot sangat lebar. Sejujurnya, ini membuatku sedikit grogi. Namun aku harus tetap tegar terhadap harapan ‘sahabatku’ ini.
“Iya, semoga ya. Kamu juga harus semangat berkarir disini. Janji ya?” aku menyodorkan jari kelingking. Sebuah simbol turun-temurun yang identik dengan perjanjian antar individu. Bela terdiam sejenak. Lalu dia mulai tersenyum, membalas jari kelingkingku dengan senyum manisnya. Akupun membalas senyumannya.
“Tapi, ini bukan hanya soal karir,” ucap Bela.
“Lalu tentang apalagi?” tanyaku dengan alis yang bergerak ke atas.
“Ini soal hati aku, yang sudah terpatri oleh kamu.”
Aku terdiam, membisu sejenak mencerna kata ‘terpatri’.
“Apakah yang sudahku perbuat benar-benar membuat suatu keabadian dalam hatimu?” gumamku dalam hati.
Aku hanya bisa mempertahankan senyuman. Sisanya, biar waktu yang menjawab.~