Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tiga malam berturut-turut, aku tidur menghadap jendela. Setiap kali aku terbangun, sosok itu berdiri dengan wajah setengah hancur. Tubuhnya terbungkus kain putih berlumur tanah.
Ia terus menatapku. Tanpa suara. Tanpa geliat. Hanya bola matanya yang mengikuti arah kepalaku, seolah menyalin setiap gerakku.
Aku sudah mencoba menyalakan lampu, membaca doa, bahkan memotretnya. Namun, hasil fotonya selalu buram. Hanya hitam, tanpa pernah bisa menyimpan gambarnya.
Awalnya aku takut, tak berani melihatnya. Selang berganti malam, dan ia tetap diam di tempat yang sama, aku mulai membiasakan diri. Aku tak mau kalah oleh hantu. Ia yang seharusnya takut kepadaku.
“Kenapa kamu terus mendatangiku?” tanyaku, menghampirinya dengan suara bergetar dan tangan gemetar.
Ia mengerang. Kepalanya membentur-bentur jendela. Aku mundur, menutup wajahku dengan selimut.
Selang beberapa lama, setelah terasa hening, aku melepaskan selimut. Kulihat ia sudah tidak ada. Entah menghilang untuk sementara waktu, atau benar-benar pergi dari hadapanku.
***
Paginya, aku turun dari kasur dengan kepala berat. Udara terasa panas, tetapi tubuhku menggigil. Di jendela, aku lihat ada bercak merah menempel. Mungkin darah dari pocong itu.
Aku mendekat perlahan. Bercak itu tampak masih segar. Aku buka jendela, lalu julurkan tangan. Ketika jariku hampir menyentuhnya, pelipisku berdenyut. Aku urungkan niat karena seakan ada yang memperingatkan.
Detik demi detik merayap, menjejakkan segudang pertanyaan di benak. Aku duduk di ruang tengah, menjernihkan pikiran dari segala prasangka di luar nalar.
Kupandangi foto masa kecilku yang terpampang di dinding. Potret indah saat aku membonceng adikku naik sepeda di halaman depan. Senyum tergurat tulus, menggambarkan kepolosan. Kenangan bersama sebelum usia membuat sekat di antara kami.
Kami pernah sangat akrab sebelum akhirnya berjarak. Komunikasi berubah dingin dan asing. Kami hanya saling berbicara ketika memiliki keperluan. Tak ada lagi canda. Tak ada lagi tawa dari cerita-cerita yang acak.
Aku mulai curiga bahwa pocong itu hanyalah manifestasi pikiranku. Mungkin berkaitan dengan adikku.
Tujuh hari yang lalu, ia pergi untuk selamanya. Kecelakaan tunggal, menabrak trotoar. Motor yang kubelikan untuknya menjadi saksi kebodohannya.
Entah sudah berapa ribu kali aku mengingatkannya, tetapi ia tak pernah mau mendengarkanku. Ia bahkan membentakku karena dianggap terlalu mengaturnya. Padahal, aku sangat menyayanginya. Aku takut ia meninggalkan dengan cara yang kutakutkan—dan itu akhirnya terjadi.
Waktu acara pemakamannya, aku sedang di luar kota, perjalanan dinas. Aku terpukul, sedih, dan juga kesal. Hanya bisa menyangkal dengan memilih untuk tidak pulang.
Aku paham. Orang-orang pantas berkata bahwa aku terlalu dikuasai emosi, tidak punya hati. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa aku benar-benar tidak bisa berpikir. Aku mencerca diriku sendiri sepanjang hari. Motor yang kuberikan untuknya sebagai kendaraan kuliah, ternyata ia gunakan untuk beradu kecepatan di jalan.
Seandainya saja aku tak menuruti keinginannya dari awal, mungkin masih ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami agar kembali seperti masa kanak-kanak. Motor itu bukan hadiah, melainkan kutukan. Ia mulai keras kepala sejak mengenal aspal dan dunia malam.
Salahku. Aku kurang tegas.
***
Malamnya, aku duduk di depan jendela kamar. Menunggu dan menunggu. Rasa bersalah mengurungku dalam ketakutan. Rasa kehilangan menikamku melalui tangisan.
Lewat tengah malam, ia tak kunjung datang. Aku memanggilnya dengan suara lantang dan berulang. “Arbi! Datanglah, Bi! Abang rindu!”
Angin bergemuruh, menerpa ranting-ranting pohon, membawa riuh seperti seruan balik. Aku berdiri, bersiap menyambutnya. Kali ini, tak kengerian yang menyusup. Aku ingin memeluknya, tak peduli wujudnya.
Namun, hening memukulku. Aku yakin pocong itu bukanlah Arbi. Ia tidak mungkin menggentayangiku. Semuanya hanya ilusi.
Sebab, Arbi seharusnya sudah tenang menjalani kehidupan di alam baka. Ia pun pasti mengerti alasan di balik semua sikapku.
Hidup memang sering terlambat. Terlambat dalam menyatakan cinta. Terlambat dalam menyadari pentingnya untuk saling mengutarakan perasaan. Ego kerap kali mengira umur masih akan cukup. Kesalahpahaman dibiarkan tumbuh liar tanpa upaya keras untuk memangkas kerancuannya.
Aku rebahkan badan di kasur. Mulutku terus bergumam menyebut nama adikku. Mataku merapat. Gelap menaungi, dan aku berharap ia bisa menelan pikiranku.
Kumiringkan badan ke kanan, panas menjalar di punggung. Sempit menghimpit, mendorongku ke tepi ranjang. Terasa ada tubuh yang ikut berbaring di sampingku.
Aku bangkit, setengah duduk. Aku lihat Arbi tertidur dengan wajah letih. Ia mendengkur, napasnya sedikit terengah-engah.
Mimpi. Ini tidak nyata, bukan? Ataukah kematian Arbi yang sebenarnya tidak nyata?
Aku membentangkan selimut menutup sebagian tubuhnya. Aku selipkan bantal di bawah kepalanya.
Tiba-tiba tubuh itu berubah. Kain kafan membelit. Wajahnya yang hancur berjatuhan di kasur. Darah merembes, bau amis menusuk hidung.
Aku mendekapnya erat. Berbisik lirih sembari mengabaikan pandangan, “Tak ada rasa takut yang bisa mengalahkan rasa bersalah dan kehilangan.”
Tetaplah bersamaku. Rupa boleh berbeda, tetapi kehadiran tetap sama. Aku tidak akan marah lagi.