Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sinar mentari pagi menyelinap masuk ke kamar Arin. Ia membuka sedikit matanya, menguceknya perlahan kemudian bangkit dari posisi tidurnya. Ia melirik jam dinding di kamarnya lalu beranjak dari tempat tidur, bergerak membuka gorden, membiarkan cahaya alami pagi menyinari kamarnya.
Hari ini adalah rencana me time-nya, ia sudah menanti hari ini dari senin lalu. Begitu mendengar kabar bahwa orang tuanya akan pergi ke luar kota selama dua hari di weekend ini, ia begitu bersemangat.
Ia bersenandung riang sambil merapikan selimut dan tempat tidurnya. “Kita ngopi dulu.” Ujarnya.
Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas dan mencari sebotol espresso yang dibelinya kemarin. Tak lupa ia mengambil sebotol susu cair yang biasa disimpan mamahnya di lemari penyimpanan. Ia menuangkan kedua bahan dan mengaduknya pelan. “Setengah botol lagi buat besok pagi.”
Segelas kopi susu itu ia bawa ke meja di dekat sofa, lalu tangannya sibuk menekan remote yang tergeletak di atas sofa. “Netflix dulu ah.” Ia menyeruput kopi susu yang dibuatnya itu. “Latte emang paling pas pagi gini, ya meskipun ala-ala.” Tawanya.
“Aduh lagi pw gini malah pengen pipis.” Keluhnya. Ia memencet tombol pause di remote kemudian menaruh gelas kopi susunya, berlari kecil ke toilet.
#
Arin menekan tombol flush toiletnya. “Eh kok gak ada airnya?” Ucapnya. “Aduh masa rusak lagi sih.”
Ia berjalan mendekati ember yang ada di pojok toilet kemudian membuka tutupnya. “Ada-ada aja deh, untung mamah selalu nampung air disini.” Batinnya sambil mengambil air dengan gayung kemudian menyiramnya ke kloset.
“Ayo kita lanjut lagi!” Serunya begitu keluar dari toilet. “Mending sambil sarapan kali ya nontonnya.”
Ia memutar arah menuju dapur. Matanya sibuk melihat bahan-bahan di lemari penyimpanan dan kulkas, ia sudah berencana akan membuat sarapan sendiri hari ini. “Roti, telur, sosis, selada, timun, tomat,” Ia mengabsen satu-satu bahan makanan di depannya. “Keju slice mana?” Tanyanya sambil sibuk mencari bahan yang ia butuhkan itu. “Ketemu! Sekarang cuci dulu sayurnya.”
“Eh, airnya abis?” Ia memutar knop keran air tapi tak setetes air pun keluar. “Pompanya mati kali ya.” Ujarnya sambil berjalan ke pintu rumah. Ia membuka pintu dan bergerak ke tempat pompa air lalu menyalakan saklarnya. “Kok gak ada suara pompanya?” Batinnya.
Arin buru-buru masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ia menekan salah satu nomor di ponselnya, dan menunggu suara di ujung telepon tersambung. “Halo pah?”
“Iya rin udah bangun?” Suara di ujung telepon terdengar bercampur dengan deru kendaraan bermotor.
“Udah dari tadi pah, pompa di rumah gak nyala.” Ucapnya panik.
“Pompa air gak nyala? Di toren ada air?” Tanya suara di ujung telepon.
“Bentar pah, arin cek.” Ia bergegas memeriksa toren air yang ada di lantai 2 tanpa memutus teleponnya. Seketika wajahnya langsung lesu. “Gak ada air pah.”
“Oh, papah telepon penyedia layanan air dulu ya.” Panggilan pun terputus.
Ia berjalan menuruni tangga, wajahnya cemberut. “Kenapa gak ada airnya hari ini sih.”
#
Arin membuka knop keran air di dapurnya. “Airnya gak nyala.” Ucapnya lesu.
Tadi pagi papahnya sudah menghubungi pihak penyedia layanan air dan mereka menjanjikan air akan segera menyala, namun sampai pukul 11.30 ini air masih belum menyala.
Arin berjalan gontai menuju sofa, meraih ponselnya dan mengecek apakah ada pesan masuk. “Belum dibaca juga.” Keluhnya, selain menghubungi pihak penyedia layanan air, papahnya juga memberikan salah satu nomor yang bisa ia hubungi jika air masih belum menyala.
Piring dan peralatan masak bekasnya tadi pagi masih berantakan di tempat cuci piring. Niatnya yang ingin spa ala-ala di rumah juga terpaksa dikubur, jangankan spa, air buat mandi saja tak ada. Air yang tersisa hanya air di ember yang harus ia hemat.
#
“Airnya gak nyala.” Ucap Arin lirih. Langit telah berwarna jingga, namun tak ada perubahan dari suasana rumahnya.
Ia berjalan menuju toilet, membuka penutup ember dan mengambil segayung air. Ia membasuh mukanya lalu berkumur-kumur, kemudian menatap mukanya di cermin. “Sampai lupa sisiran.” Ia beranjak dan pergi ke kamarnya mengambil sisir.
Langkahnya terhenti saat ia memandangi kamarnya yang telah rapi sejak pagi, sedari tadi ia hanya tidur-tiduran di sofa sambil menunggu pesan masuk di ponselnya berharap air akan menyala. Ia pun berbaring di tempat tidurnya dengan baju yang ia pakai dari kemarin sore.
#
Arin terperanjat, ia melirik jam dinding di kamarnya, pukul 21.00. “Ya ampun kok bisa ketiduran?!” Serunya panik dan segera bergegas.
“Hah.” Ia menghela napas. “Airnya gak nyala.” Padahal tadi ia sudah buru-buru ke dapur.
Ia melihat sekelilingnya, piring kotor yang belum dicuci, wastafel yang kering dan tubuhnya yang sudah terasa lengket. Air di dalam ember pun hanya tersisa segayung lagi. Ia meraih ponselnya, ada satu pesan masuk dari papahnya.
‘Rin lagi ada kebocoran pipa, tetangga juga pada mati airnya. Katanya jam 7 malam nanti nyala.’
Arin menghembuskan napas kasar.
#
Ting tong! Suara bel membangunkan Arin yang tengah tertidur di atas sofa.
“Permisi! Penyedia layanan air.” Terdengar suara dari luar.
Arin beranjak dari posisinya, berjalan menuju pintu rumah dengan gontai lalu membuka pintu.
“Permisi, kemarin saya dapat laporan katanya air-” Petugas penyedia layanan air itu terkejut melihat sosok di depannya. Seorang gadis dengan pakaian yang kusut, rambut terurai berantakan, matanya sayu dan raut wajahnya muram.
Gadis itu, Arin menatapnya kosong. “Airnya gak nyala.”