Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
25-12
1
Suka
10
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Dunia ternyata tidak sesederhana yang dulu kupikirkan saat berusia dua belas tahun. Aku masih ingat betul masa itu—usia yang begitu muda, tapi pikiranku melanglang buana jauh ke masa depan.

Usia dua belas tahun adalah masa emas dalam hidupku. Aku menjadi murid terpandai di kelas. Hari-hariku dipenuhi pujian, teman yang datang tanpa diminta, dan sejenis kebahagiaan polos yang hanya dirasakan anak-anak. Aku pernah begitu bangga pada diriku—begitu yakin masa depanku akan secerah matahari. Dalam benakku yang masih hijau, aku membayangkan sepuluh tahun ke depan: kuliah di perguruan tinggi ternama dengan beasiswa, hidup nyaman, terus menjadi kebanggaan orang lain. Aku mengira segalanya akan berjalan semudah itu.

Betapa rindunya aku pada anak kecil itu.

Andaikan bocah dua belas tahun itu—diriku sendiri—melihat batang kakiku sekarang yang bergelantungan di atas sofa, tubuhku terbaring seperti bangkai hidup dengan dompet kering dan pikiran tanpa arah, mungkin ia akan menangis di pojok kelas setiap hari. Meski orang-orang memuji kecerdasannya, dia pasti bertanya: “Untuk apa aku belajar dan berusaha keras, kalau akhirnya aku hanya menjadi bangkai di atas sofa?”

Kini, di usia dua puluh lima, rasanya aku meruntuhkan satu per satu harapan yang dulu begitu kukagumi.

Aku berjalan sempoyongan di trotoar. Langkahku berat, tidak seperti dulu ketika aku berlari pulang menenteng tas sekolah, entah mengapa selalu merasa dunia menungguku. Dulu aku ingin menerjang masa depan seperti melesat dengan mesin waktu. Bocah itu pasti tak sabar bertemu “dirinya” di masa depan—padahal kalau ia benar-benar melihatku sekarang, mungkin ia akan berbalik lari sambil menangis. Aku bahkan tak punya semangat untuk sekadar berjalan.

Jakarta menyambutku dengan panas yang menusuk kulit. Aku mengenakan kaos putih dan celana jeans abu-abu, dengan keringat menetes di pipi. Aku berjalan di antara lautan manusia, tak ada satu pun yang mengenalku. Aku bukan siapa-siapa—hanya segumpal daging yang hidup tanpa tujuan.

Dunia memang keras. Aku melihat anak berusia dua belas tahun mengulurkan topinya di atas jembatan penyeberangan; bapak-bapak penjual asongan yang mengusap keringat dengan tisu murahan; tukang siomay yang terus mendorong gerobaknya; pemulung yang mengorek tong sampah; kakek tua yang meminta uang dengan alasan tak punya ongkos pulang. Semua ini tidak pernah terbayang ketika aku berusia dua belas. Dulu, dunia hanya seluas kelas, lapangan sekolah, dan halaman rumah.

Aku teringat momen tiga belas tahun lalu ketika menonton The Lord of the Rings. Aku terpukau oleh dunia liar yang indah, makhluk-makhluk ajaib, cerita petualangan besar yang menyala dalam benak kecilku. Hutan Fangorn menjadi tempat favorit dalam imajinasiku; aku begitu ingin menciptakan dunia itu sendiri, ingin berkelana di dalamnya. Imajinasi anak-anak memang selalu lebih luas dari kenyataan.

Kini, di usia kepala dua, langkahku mungkin seburuk zombie, tapi aku tak menolak jika keajaiban semacam itu datang—meski hanya lewat mimpi. Aku sudah bosan melihat gersangnya hidup yang membuatku ingin mengasihani diri sendiri.

Bagaimana jika aku benar-benar menemukan diriku berada di Hutan Fangorn—tempat imajinasi masa kecilku? Pagi hari, pepohonan trembesi menjulang seperti pilar kuno. Rumput-rumput hijau membentang, dan dahan-dahan seakan dibentuk oleh tangan raksasa. Aku berjalan, membiarkan Jakarta yang bising tertinggal jauh di belakang.

Di pangkal pohon, seorang anak berusia dua belas tahun duduk sambil memeluk tas bergambar Upin-Ipin. Ia menoleh dan tersenyum padaku. Tulus. Jernih.

Itu aku. Aku yang dulu.

“Bisa ceritakan bagaimana masa depanku?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada menuntut. “Apakah kau sudah menjadi jutawan? Menang olimpiade?”

Pertanyaannya menghentak jiwaku. Buluku merinding.

“Aku…” suaraku patah. “Aku lebih sering berbaring di sofa sambil bermain ponsel. Aku tidak berniat menghancurkan masa depanmu.”

“Aku tidak mau menjadi sepertimu!” Dia mulai menangis. “Ini salahmu karena kau malas dan hanya rebahan di sofa!”

“Tapi aku adalah dirimu.”

“Bukan!” teriaknya. “Aku anak terpandai di kelas. Aku bukan dirimu yang menyedihkan.”

Aku meraih kepalanya, memeluknya. Tubuhnya kecil, hangat, dan penuh luka yang belum ia mengerti.

“Maafkan aku. Aku janji… setelah ini aku akan berjuang. Kita akan berusaha lagi. Aku tidak akan mengecewakanmu delapan tahun dari sekarang. Jangan menangis…”

Ia terus sesenggukan, lalu melepaskan diri dan berlari lurus ke depan. Tas kecilnya menjuntai-juntai, langkahnya penuh api—penuh harapan yang dulu pernah kumiliki. Aku mengejarnya sampai nafasku hampir habis.

Lalu ia menghilang.

Benar-benar hilang, meninggalkanku hanya dengan sebuah rumah Hobbit di hadapanku. Padahal rinduku belum tuntas; aku masih ingin berbincang dengan diriku yang berusia dua belas.

Sedetik kemudian, Fangorn runtuh. Trembesi lenyap, rumah Hobbit sirna, dan kesejukan itu tergerus hingga hanya menyisakan gedung-gedung dan lalu-lalang kendaraan di Jakarta.

Aku kembali dari imajinasiku. Namun kenyataannya tetap sama: aku hanyalah seonggok daging yang berjalan tanpa arah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Podcast Hati-hati
Joeviano Pinandel
Novel
You Are Not My Lover
Imajiner
Novel
Bronze
THE WAY HOME
Mochamad Rozikin
Skrip Film
Money Baby (Script)
Naomi Saddhadhika
Flash
Orang Menyebalkan
Impy Island
Flash
25-12
Rifin Raditya
Cerpen
Patrick Star
Cléa Rivenhart
Novel
Iridescent
Putri Dila Yustianti
Novel
V-Three : Tetangga
Fadila Nur Latifah
Novel
Harmoni, Disharmoni
Susi Idris
Novel
Karimunjawa Love Story
Kelana Kaheswara
Novel
Gold
Surat Misterius
Mizan Publishing
Novel
My 2D Prince
Sinta Yudisia
Novel
Sang Multitalenta : Tahun Pertama
M. Ferdiansyah
Novel
Bronze
Warna-warna Hidup Casya
@Fatamorgana16
Rekomendasi
Flash
25-12
Rifin Raditya
Cerpen
Tak Sampai ke Long Jenew
Rifin Raditya
Cerpen
Gua Aspas dan Tiga Bersaudara
Rifin Raditya
Novel
Mengejar Dosa
Rifin Raditya