Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Untuk apa?” Aku menghirup dingin.
Hujan deras, mendorongku menyelami sebuah labirin luka. Bertahun-tahun, aku belajar hidup tanpa nama pria bermata coklat. Di bawah garis takdir, hari ini kami bertemu.
Aku memalingkan wajah, tidak ingin mengenang sesuatu yang berhasil terkubur. Bergegas menuju mobil, gedung penuh aksen etnik ini seketika tidak lagi menarik.
Aku bermanuver cepat, mengoper gigi, menginjak gas, melepas kopling, memutar stir. Hujan membuat jarak pandang memendek, terpaksa setengah kaca pintu mobil kubiarkan terbuka. Damaz masih menatap dari sana. Aku tahu.
“Yah, biar dia tahu. Lu udah sukses!” Anggun mengekori gedung tadi dengan matanya.
Aku menghirup dingin lagi. Aku yakin nama keramat itu telah benar-benar terhapus. Seperti lengas kemarau tersapu hujan. Bersih, tak bersisa.
“Memori gue isinya cuma nama Cakra.” Aku berkata lembut, memamerkan jari manis.
“Ah, lu mah. Tega.., gue kan masih single.” Anggun melirik cincin pernikahanku.
“Tapi, boleh kan. Kalau gue ngerasa puas?” Anggun merentangkan tangan, hampir mata kiriku menjadi korban kuku palsunya.
“Damaz yang cuma jadi… “tukang” pasang kanopi panggilan.” Anggun mengipas tangan ke wajah.
“Nggun, ...”
Aku malas menyebut namanya. “... sama kayak bapak-bapak di luar sana.”
Aku menunjuk arah kanan. Beberapa petugas mengenakan rompi hijau stabilo, mengeksekusi sebuah pohon besar yang tumbang. Di bawah derasnya hujan, tanpa ragu.
“Selama halal, semua pekerjaan itu mulia. Mereka berjuang, demi keluarga kecilnya.” Aku tersenyum, mengusap stir.
Anggun mengangguk, “Ya sih, lu bener juga, Ken.” Anggun menggaruk pelipis.
“Daripada dia nyuri, ngebegal, atau jualan narkoba kan ya?”
“Betul.” Lesung pipi di wajahku terbentuk.
Lima tahun lalu, laki-laki itu dengan jabatan sebagai HRD Plaza Biru memutuskan pertunangannya denganku. Dia Menikahi perempuan lain di kantornya. Anggun benar, aku juga puas melihat Damaz kini terpuruk.