Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara lembap hari itu begitu menusuk kulit, dan napas pun keluar dalam kepulan putih kecil yang segera menghilang. Di bawah langit abu-abu yang muram itu, Mina berdiri mematung di taman belakang sekolah yang sepi, mengabaikan tetesan air hujan yang mulai membasahi tubuhnya. Di hadapannya, Sammy tampak berulang kali menghindari tatapan Mina.
Mina menatapnya tanpa berkedip. Terlihat tenang meski ada gemetar di bibirnya, atau setidaknya berusaha terlihat begitu.
"Kau serius?" suaranya pelan, nyaris tak terdengar di antara suara rintik hujan.
"Kau tahu sendiri aku sesibuk apa, kan?" kalimat yang Sammy lontarkan terasa sama dinginnya dengan hembusan angin yang baru saja menggelitik tengkuk Mina. "Aku tidak ingin menyakitimu karena terus mengabaikanmu."
Mina tertawa getir. "Apa kau tidak punya alasan lain? Dari ratusan alasan dan kau memilih alasan klasik setiap orang yang menginginkan perpisahan?"
"Baiklah, maafkan aku."
"Hanya itu? Padahal kau hanya perlu jujur. Katakan kalau kau bosan dan aku tidak akan kembali lagi."
***
Hampir dua tahun berlalu dan anehnya Sammy masih terbayang-bayang oleh penyesalan setelah mengakhiri hubungannya dengan Mina. Meski ia bertingkah seolah dirinya baik-baik saja dan menahan diri untuk tidak mengusik kehidupan Mina, namun tetap saja ia tak bisa membohongi dirinya sendiri.
"Aku yang mengakhiri segalanya, tapi kenapa aku yang merasa terluka?" rutuknya.
Dilihatnya kembali pesan-pesan tak terbalas yang ia kirim pada Mina. Jelas Mina telah membacanya, namun memutuskan untuk mengabaikan semua pesan itu. Sammy pun berkali-kali mencoba menemui Mina di sekolah, namun entah mengapa seakan semesta tak pernah mengizinkan pertemuan itu. Seseorang yang semula sedekat nadi, kini benar-benar terasa jauh.
Sammy tidak menyangka, kisah cinta remaja yang ia pikir hanya untuk sebuah kesenangan, ternyata meninggalkan penyesalan yang cukup membuat hidupnya tidak nyaman. Barang-barang pemberian Mina, atau pun yang pernah mereka beli bersama, masih tersimpan rapi di dalam lemari kamarnya. Bahkan, sebuah foto polaroid mereka berdua tak pernah ia pindahkan, masih berada di atas nakas dan menjadi saksi betapa gilanya Sammy yang tersiksa atas penyesalannya.
Sebuah pengeras suara di sudut kelas tiba-tiba berdenging. Disusul setelahnya, panggilan untuk para anggota senior ekskul teater pun bergema. Sammy terdiam sejenak, sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruang kelas yang masih dipenuhi celotehan para penghuninya.
Sammy mengendap-endap, mengamati ruang teater yang masih lengang. Di dekat panggung, ada sekitar delapan orang dengan gelak tawa yang memenuhi ruangan. Sementara di bangku kedua dari belakang, dua orang saling berbisik entah membicarakan apa.
"Sam?" gadis berambut ikal pendek yang tengah asik berbisik itu akhirnya menyadari kehadiran Sammy. Sammy hanya membalasnya dengan anggukan singkat sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya pada gadis lain yang duduk di samping si gadis berambut ikal. "Mina, kurasa Sam ingin bertemu denganmu."
Gadis itu menoleh, namun wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Keduanya hanya saling pandang, sementara Zia—gadis berambut ikal di samping Mina—memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Belum sempat Mina mengatakan sesuatu, Sammy langsung berjalan mendekat kemudian menarik tangan Mina.
Mina tidak berontak, tidak juga bertanya ke mana pemuda itu akan membawanya. Ia hanya diam, membiarkan Sammy menariknya menjauh dari ruang teater. Tak banyak murid yang berpapasan dengan mereka. Yang pasti, semua orang yang melihat keduanya akan saling berbisik.
Tempat pertunjukan outdoor yang tak jauh dari taman belakang sekolah kini kembali menjadi saksi, hanya saja tanpa rintik hujan di antara keduanya.
"Jika aku mengatakan kalau aku baik-baik saja selama ini, apa kau percaya?" Pertanyaan Sammy membuat Mina menaikkan alis kirinya. Pasalnya Mina pun tak peduli bagaimana kabar mantan kekasihnya itu.
"Memangnya kenapa? Itu bukan urusanku." Mina menjawabnya dengan tenang. "Lagipula bagaimana pun kabarmu, sama sekali tidak ada pengaruhnya di hidupku."
Entah mengapa Sammy merasa sakit hati dengan jawaban Mina. Dulu, Mina yang selalu peduli keadaan Sammy. Dulu, ia tidak pernah membiarkan Sammy pura-pura kuat terlalu lama. Bahkan dulu, satu helaan napas Sammy saja cukup membuat Mina berkata, "Aku akan mendengar ceritamu."
Sekarang Mina benar-benar tidak peduli. Senyum yang ia lemparkan pada Sammy pun hanya senyum tipis yang dingin, seolah memberi peringatan pada Sammy untuk tetap menjaga jarak.
"Aku ingin tahu, bagaimana jika aku jujur ... kalau saat aku bersamamu, aku juga menyukai seseorang."
"Aku sudah tahu, dan sama seperti yang kukatakan saat itu. Aku akan menjauh dan tidak akan kembali lagi." Jawaban Mina membuatnya merasa semakin bersalah. Tidak ada amarah, tidak ada dendam. Namun, ia tak bisa membiarkan perasaan itu membuatnya terlihat lemah. "Aku juga tahu kalau gadis itu adalah sahabatku."
"Apa kau tidak ingin marah padaku? Apa kau tidak ingin memakiku? Melampiaskan kekecewaanmu saat itu?"
"Untuk apa? Ah ... kau merasa bersalah sekarang?" suaranya tenang namun menusuk.
"Aku hanya ingin memberimu kesempatan untuk melampiaskan amarahmu yang mungkin sudah menggunung itu. Agar kau merasa lebih tenang."
Mina terkekeh sejenak. Entah mengapa kalimat itu terdengar menggelitik. "Kau yakin bukan kau sendiri yang sedang mencari ketenangan?" Sammy menutup mata sejenak. Lagi-lagi ia tak bisa membohongi gadis itu. "Kau mengharapkan amarahku? Makianku? Aku tidak akan melakukannya. Bukan ... bukan karena aku sedang berbaik hati." Mina mendekat, tatapannya bagaikan menusuk ego Sammy yang paling dalam. "tapi karena aku ingin penyesalan itu tetap hadir di hidupmu."
Bahu tegap yang semula Sammy tunjukkan itu perlahan luruh. Ia mendongak menatap langit yang baginya terlihat terlalu cerah untuk suasana hatinya yang mendung.
"Jangan pernah usik ketenanganku, dan jangan pernah coba-coba menjebak Harin di situasi yang sama seperti yang kualami dulu!" sebuah peringatan dari Mina itu menjadi pertanda bahwa segalanya benar-benar telah berakhir. Gadis itu berjalan pergi, tanpa menoleh sedikit pun.
Sammy hanya bisa memandangi punggungnya, punggung seorang gadis yang bahkan penyesalan pun tak bisa lagi menahannya. Untuk sejenak, Sammy mencoba menghela napas panjang, mencoba memulihkan sisa harga dirinya yang tertinggal. Sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu, melangkah ke arah berlawanan.
Tatapan mata Sammy yang kosong bahkan membuatnya tak menyadari kehadiran Harin. Gadis itu hanya diam, menyaksikan seseorang yang harusnya berjalan bersamanya, ternyata masih belum selesai dengan kisah cinta masa lalunya.