Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Senja kali ini jauh dari kata syahdu. Tidak ada jingga dramatis yang bisa membuat orang tiba-tiba ingin menulis puisi atau mengingat mantan. Hanya cahaya samar seperti lampu yang hampir menyerah karena lelah dipaksa menerangi ruangan yang bahkan terlalu jenuh untuk diterangi cahaya. Di kantor, kami semua sedang kelelahan. Pekerjaan di ambang tenggat menumpuk. Mata merah. Kopi entah sudah cangkir keberapa. AC pun seakan menyerah, mengembuskan angin hangat cenderung panas seperti semburan naga yang sedang demam.
Pimpinan kami, Bu Pratiwi, yang kalau sedang mood baik bisa terasa seperti ibu peri, tapi kalau sedang stress sedikit saja bisa membuat satu kantor ikut gulung tikar mental, tiba-tiba bersuara dari meja kerjanya.
“Anakku yang bungsu ini pede banget marung sendirian,” katanya. Nada suaranya meninggi, intonasi khas orang yang berharap mendapat respon.
Kami, yang sedang terbenam di tumpukan laporan, hanya saling melirik malas. Kecuali satu orang: Nandita. Dia awalnya tidak ikut celutukan kami. Biasanya dia hanya memberi komentar kalau benar-benar perlu. Tapi kali ini dia angkat wajah.
“Apa yang salah dengan itu?” katanya. Ekspresinya datar seperti biasanya.
Bu Pratiwi mendengus. “Ya karena si bungsu ini pemalu. Bisa-bisanya berani keluar makan sendiri. Biasanya nempel ke saya, kayak lem.”
Nandita mengangguk-angguk pelan. “Itu biasa banget, padahal.” Suaranya pelan, tapi terdengar jelas. Aku yang mendengar hanya bisa mengangguk dalam hati. Masuk akal. Makan sendiri bukan isu nasional yang harus segera ditindaklanjuti.
“Kenapa kamu suka sekali sama sepi dan sendiri, Dik?” tanya Pratiwi, mencondongkan tubuh. Matanya menyipit penasaran. Tunggu, jari kami sontak mengetik di grup kecil tanpa pimpinan. Apa yang salah dengan makan di warung sendirian? Kami saling membalas komen dengan dering notifikasi yang sudah dimatikan. Mendadak lupa akan tenggat waktu.
Nandita tersenyum kecil. Senyum yang tidak ceria, tapi seperti orang yang sudah kenyang dengan lelah dunia. “Trauma,” jawabnya santai.
Aku spontan berhenti mengetik. Headset tetap menempel, tapi volume sudah lama aku mute. Dan aku yakin semua telinga saat ini fokus padanya.
Bu Pratiwi langsung kepo, sesuai karakter bawaan lahir. “Trauma apa? Pernah diapain? Kamu kan masih muda, beda sama saya yang sudah lansia.”
Nandita nyengir. “Pernah ditusuk dari belakang.”
Bu Pratiwi terbelalak. “Hah? Bukannya ini pekerjaan pertama kamu?”
Nandita masih tetap mengetik, jari-jarinya tenang. “Bukan di tubuh ini.”
Keheningan menyergap. Bahkan bunyi klik-klik keyboard terasa seperti suara paling keras di ruangan saat ini.
Bu Pratiwi menatapnya seperti baru melihat roh gentayangan. Aku menahan napas.
Lalu Bu Pratiwi berkata pelan, “Coba cerita dong.”
Nandita berhenti sebentar. Matanya mengamati kami satu-satu. Seperti menimbang, apakah kami layak menerima cerita itu.
Kemudian dia bicara.
Datar. Tenang. Tanpa drama.
“Dulu, saya orang terpandang. Mereka semua butuh saya untuk bernegosiasi dengan pendatang dari negeri jauh. Saya berhasil membuat perjanjian yang menguntungkan kami. Tapi setelah itu, saya dikhianati. Difitnah. Disingkirkan. Mereka takut saya lebih disukai daripada tuan baru mereka.”
Suaranya tidak naik turun. Tapi kata-katanya seperti batu ke ruang kosong dan menimbulkan gema dalam indera kami.
“Sejak itu saya kapok menjadi “terang”,” lanjutnya. Kedua tangannya membuat tanda kutip di udara. “Saya tidak suka keramaian. Tidak suka tatapan orang. Pengkhianat ada di mana-mana. Dan saya… memilih tenggelam. Lebih mudah menjadi biasa. Tidak terlihat. Tidak perlu dijatuhkan lagi.”
Kami semua tidak tahu harus merespons dengan apa.
Yang kami tahu, Nandita memang jarang serius. Dan ketika bercanda pun, wajahnya selalu lempeng. Tapi kali ini berbeda. Ini seperti dia membuka pintu yang sudah dikunci berabad-abad.
Bu Pratiwi akhirnya bertanya, pelan, seperti takut-takut.
“Itu… kapan kejadiannya?”
Nandita tersenyum kecil. “Lama sekali. Jauh sebelum kalian mengenal saya.”
Lalu ia kembali mengetik sebentar sebelum melanjutkan, pelan tapi jelas:
“Sejak itu, jadi siapa pun saya, saya tetap memilih sepi. Jadi anak bangsawan, saya menghindar dari istana. Jadi anak raja, saya banyak menghilang ke hutan. Saya sering membuat kakak saya kerepotan mencari. Saya tidak suka berada di dalam lingkaran kekuasaan. Di sana mudah sekali pengkhianatan dilakukan. Orang-orang tersenyum sambil menajamkan belati.”
Aku menelan ludah. Serius. Itu bukan kalimat yang biasa keluar dari orang yang hobi bikin lelucon konyol soal kucing tetangga dan snack kantor. Secara wujud dia memang Nandita yang kalau membuat orang terbahak, wajahnya ya tetep datar. Tapi kali ini kami merinding sebadan-badan.
Bu Pratiwi tertawa gugup. “Terus… kamu ketemu kakak kamu lagi? Maksudnya… di hidup yang sekarang?”
Nandita mengangguk kecil. “Salah satu kakak saya ada di sini. Di hidup ini. Dia mengenali saya terlebih dulu. Waktu dia melihat saya, dia tersenyum kecut. Katanya, ‘kamu tetap saja hobby berlari. Dia dulu sering uring-uringan mencariku saat aku menghilang dari istana.”
Bu Pratiwi melongo. Kami semua ikut membeku tanpa sadar.
Tidak ada yang berani bertanya siapa kakaknya dalam hidup sekarang. Tidak ada yang berani menertawakan cerita itu. Tidak ada yang berani menilai Nandita sedang bercanda atau tidak. Yang jelas, kami bisa merasa Nandita tidak sedang bercanda.
Bu Pratiwi bersandar. Suaranya pelan. “Sampai kapan kamu mau menyepi hanya karena satu pengkhianatan, Dik?”
Nandita menghentikan ketikannya. Untuk pertama kalinya, dia menatap Bu Pratiwi.
Matanya tidak sendu. Tidak sedih. Tapi jernih. Seperti orang yang sudah berdamai dengan sesuatu yang sangat besar.
“Seharusnya kali ini saya membayar semua pelarian saya,” katanya. “Saya sering lari dari tanggung jawab demi rasa aman. Tapi rasa aman itu palsu. Berlari hanya membuat luka bergaung. Sakitnya berulang. Jadi saya ingin belajar menghadapi.”
Ia kembali menatap layar laptop. Tapi kali ini bukan karena deadline, melainkan karena ia sudah selesai mengatakan yang perlu dikatakan.
Kami semua diam, meresapi senyap yang tidak perlu dijelaskan.
Dan untuk pertama kalinya sejak lembur parah itu dimulai, kami lupa soal deadline.
Aku, yang biasanya ribut dan punya seribu komentar, hanya bisa menatap mejaku sendiri. Kata-katanya menempel. Tidak berisik. Tapi mengendap.
Berlari bukan cara menyelesaikan apa-apa.
Kami semua tahu itu. Tapi mendengarnya dari seseorang yang pernah hidup, jatuh, dibangkitkan ulang entah di mana, lalu memilih jadi biasa dengan sengaja, itu lain rasanya.
Ruang kantor kecil itu tidak berubah. Deadline tetap menunggu. Senja tetap hambar.
Tapi ada sesuatu yang diam-diam bergeser.
Mungkin bukan hidup kami. Tapi cara kami memandang diri sendiri.
Dan itu cukup.