Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Jangan di dalam,” kata perempuan berjas hujan plastik itu, nadanya lebih seperti saran ramah ketimbang peringatan hidup-mati.
Terlambat.
Riko sudah melangkah masuk ke ruangan yang kelihatannya seperti kamar mandi umum, kecuali fakta kecil bahwa lantainya bernapas.
Ruangan itu mengeluarkan suara kruukh...kruukhh seperti perut lapar. Dindingnya yang berwarna krem tampak berdenyut pelan, seakan menelan cahaya lampu neon satu watt yang menggantung seperti pasien ICU kelelahan. Bau apa pun yang seharusnya ada di kamar mandi normal telah digantikan aroma manis mirip vanila… hanya lebih menakutkan, seperti vanila yang tahu terlalu banyak rahasia.
Perempuan di luar menepuk pintu.
“Serius, Mas. Kalau mau dimakan fasilitas kota, pilih yang luar. Yang dalam itu… agak perfeksionis.”
Riko mendesah. “Perfeksionis gimana maksudnya?”
Lantai di bawah kakinya menegang. Klik.
“Sukanya nelen yang lagi mikir,” jawab perempuan itu santai.
Riko sempat menganggap itu humor satir khas kota ini, semua orang sejak Peraturan Infrastruktur Hidup diberlakukan memang makin sarkastik. Namun ketika ruangan itu mulai menutup dirinya seperti bibir raksasa yang mengantuk, ia mendadak sangat sadar bahwa ia sedang berpikir keras tentang cara kabur.
Dinding berdenyut lebih cepat. Lantai membuka pori-pori. Lampu neon berkedip seperti tertawa.
Dari sela pintu, perempuan tadi menambahkan, “Lain kali, Mas, kalau ruangan ngomong ‘Jangan di dalam’, ya jangan. Mereka itu sensitif. Suka baper kalau dianggap bercanda.”
Dan sebelum Riko sempat memaki, ruangan itu menutup sepenuhnya. Rapat, puas, dan sepi. Seperti mulut yang baru selesai menilai seseorang dengan kejam.