Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Hanya Ingin Pulang
0
Suka
6
Dibaca

23.00 WIB

Pak Joko, seorang driver ojek online baru saja menurunkan penumpang terakhirnya. Ia merapatkan jaket, siap mematikan aplikasi dan pulang. Malam itu terlalu lengang, hanya sesekali angin membawa suara daun kering.

Saat melewati depan rumah sakit, netranya menangkap sosok gadis berdiri sendirian di bahu jalan. Wajahnya pucat, tubuhnya dibungkus gamis hitam dan berhijab pashmina mocca. Tangan kanannya terangkat, melambai pelan.

Hati Pak Joko sempat berdesir. Jalanan sunyi, hanya ada dirinya dan gadis itu. Tapi iba mengalahkan segalanya. Ia menepikan motor.

"Pak, saya mau pulang. Tolong antar, ya," suara gadis itu datar dan pelan.

"Jauh nggak, neng rumahnya?" tanya Pak Joko.

"Nggak, kok, Pak."

"Saya sebenarnya udah mau balik ke rumah."

"Tolonglah, Pak. Kasihanilah saya." Wajah gadis itu memelas. 

Pak Joko termangu. Ada sesuatu yang ganjil, namun ia luluh jua.

"Ya udah, ayo naik, neng," ucapnya, berubah pikiran.

"Bayar pakai uang tunai saja, ya, Pak."

"Hm. Iya, Neng."

Gadis itu duduk di jok belakang, menyamping. Motor pun melaju.

Sepanjang jalan, gadis itu tak bersuara. Menunduk, kaku. Sesekali Pak Joko mengintip lewat spion. Gadis itu kaku, seolah bergeming meski jalanan berbelok-belok.

Untuk memecah keheningan, Pak Joko membuka percakapan. 

"Eneng, habis dari rumah sakit, ya?" tanyanya hati-hati.

"Iya, Pak."

"Berobat?"

Gadis itu menoleh pelan. Senyumnya samar. "Iya, Pak. Saya sakit. Seminggu dirawat. Tapi sekarang udah tenang. Udah nggak ngerasain sakit lagi."

Nada datarnya membuat bulu kuduk berdiri. Pak Joko menelan ludah. "Maksudnya, Neng?"

"Nanti bapak juga akan tahu," jawabnya singkat.

Suasana makin janggal. Angin malam yang tadi sepoi kini menusuk dingin. Pak Joko berusaha tetap fokus menatap jalanan gelap di depan.

***

Dua puluh menit kemudian, mereka memasuki perkampungan. Sepi. Lampu jalan redup. Anjing di kejauhan menggonggong tanpa sebab.

"Ke arah mana, Neng?" tanya Pak Joko.

"Lurus. Belok kanan di pertigaan. Setelah itu lurus lagi. Belok kanan sekali lagi." Suaranya pelan, nyaris berbisik.

Pak Joko mengiyakan. Namun saat berbelok, motornya terasa ringan. Seperti tidak membawa penumpang. Ia sempat menoleh. Gadis itu masih duduk di belakang—aneh, tubuhnya tak menekan jok sama sekali.

Tak berapa lama kemudian mereka tiba di tujuan. 

"Pak, berhenti di sini saja," pinta si gadis.

"Loh, kenapa nggak sampai depan rumah?" bingung Pak Joko.

"Nggak apa-apa."

Motor berhenti agak jauh dari rumah besar yang dipenuhi orang. Bendera kuning berkibar di depan pagar.

"Owalah ada yang meninggal. Pantes ramai." Pak Joko baru sadar. "Innalillahi wa innaillahi roji'un," ucapnya pelan, turut berduka cita.

Gadis itu turun. Senyum tipis terukir, memperlihatkan lesung pipi. "Terima kasih sudah mengantar saya pulang, Pak."

"Sama-sama, Neng."

"Bapak tunggu sini. Saya ambil uang dulu di dalam." Ia melangkah cepat menuju rumah yang ramai itu. Langkahnya nyaris tak terdengar.

Waktu berjalan lambat. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Pak Joko masih menunggu di atas motor. Sesekali melirik jam, sesekali melirik rumah tersebut. Gadis itu tak kunjung kembali.

***

Pak Joko mulai resah. Tak lama berselang, seorang pemuda berkacamata menghampirinya.

"Pak, maaf. Dari tadi lagi nunggu siapa, ya?"

"Oh, saya lagi nunggu perempuan yang saya antar barusan," terang Pak Joko.

"Oh, gitu"

"Iya, Mas."

"Orangnya lagi ke mana, Pak?" tanya si pemuda ingin tahu.

"Ke rumahnya, Mas. Katanya mau ambil duit dulu buat bayar. Tapi, belum nongol-nongol sampai sekarang," ujar Pak Joko berterus terang.

"Oh, gitu. Rumahnya yang mana, Pak?" tanya pemuda itu lagi.

"Itu mas yang rumahnya ramai orang," kata Pak Joko sembari mengarahkan telunjuknya ke rumah yang di maksud.

Pemuda itu mengikuti arah telunjuk Pak Joko. Saat mengetahuinya, seketika ia kaget bukan main.

"Astaghfirullah!" ucapnya refleks.

"Masnya kenapa kaget gitu?" Pak Joko terbingung-bingung.

"Bapak serius habis nganter seorang perempuan?" Si pemuda bertanya lagi.

"Iya."

"Cirinya-cirinya seperti apa, Pak?"

"Muka putih pucat, mata sipit. Ada lesung pipinya. Gamisan hitam. Pake hijab pashmina moka." Pak Joko menjabarkannya secara lengkap.

Wajah pemuda itu berubah pucat. "Astaghfirullah!" 

"Mas, kenapa?" Pak Joko masih dengan kebingungannya.

"Bapak tunggu sini. Jangan kemana-mana." 

Pemuda itu berlari masuk ke rumah yang ramai itu. Lalu keluar lagi bersama seorang pria paruh baya berwajah kuyu. Usianya di taksir sepantaran Pak Joko.

"Ini bapak saya, Pak," kata si pemuda.

Bapak berkulit putih itu memperkenalkan dirinya.

"Saya Pak Indra," ramahnya.

"Oh. Bapaknya si eneng cantik juga?" Pak Joko menebak.

"Iya, Pak."

Sesaat kemudian, Pak Indra bertanya. "Tadi Bapak nganter seorang perempuan muda ke sini?"

"Betul, Pak."

Pak Indra mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. "Benar ini orangnya?"

Pak Joko menatap foto itu lama. "Iya, persis. Ada lesung pipinya di kanan dan kiri," jawabnya yakin.

Pak Indra menghela napas. "Itu anak bungsu saya, Pak."

"Hm. Iya. Iya." Pak Joko manggut-manggut.

"Kasihan, loh, pak anaknya nunggu di pinggir jalan, mana sepi dan dingin. Katanya mau pulang. Ya udah saya anterin aja. Habis nggak tega. Padahal posisi saya udah mau balik ke rumah," jelas Pak Joko.

"Begini, Pak… anak bungsu saya meninggal sore tadi. Dimakamkan setelah salat Asar." Pak Indra menyampaikan kabar duka itu.

Dunia Pak Joko seolah berhenti berputar. Jantungnya berdetak keras, tangan gemetaran, keringat dingin menetes dari pelipisnya. "T-tapi… saya baru saja…"

Pak Indra menepuk pelan bahu si bapak ojol. "Bapak nggak usah takut. Yang Bapak antar tadi adalah qorin anak saya. Dia ingin pulang dan Bapak sudah menolongnya."

Pak Joko tercekat. Pikirannya melayang ke wajah pucat itu—senyum tipis dengan lesung pipi. Juga, dingin yang menusuk sepanjang perjalanan.

Pak Indra kemudian menyodorkan selembar uang merah.

"Pak… ini kebanyakan…" Pak Joko kaget.

"Tarifnya hanya dua belas ribu rupiah," imbuhnya, jujur.

"Ambil saja, Pak. Rezeki nggak pernah salah alamat."

"Waduh. Terima kasih banyak ya, Pak." Dengan tangan bergetar Pak Joko menerima uang itu.

"Alhamdulillah." Ia mengucap syukur lirih.

Motor kembali dinyalakan. Tapi sebelum benar-benar pergi, Pak Joko refleks menoleh ke kaca spion. Sesaat ia melihat sesosok perempuan berjilbab duduk di jok belakang. Pucat, tersenyum dengan lesung pipi yang menghiasi. 

Sekejap kemudian, sosok itu lenyap.

Malam terasa semakin sunyi. Pak Joko memacu motor agak cepat. Jalan pulang begitu panjang. Namun di saku jaketnya, selembar uang Rp 100.000 terasa hangat—seperti pesan terakhir dari penumpang yang tak pernah benar-benar kembali.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Hanya Ingin Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Danau di Belakang Kampus
Amelia Purnomo
Cerpen
Sendang Jantur
Noctis Reverie
Flash
Ingatan Pertama
Panca Lotus
Cerpen
Bronze
Jalan Melati Nomor 12
Farlan Nuhril
Flash
PEREMPUAN YANG BERSAMAKU
Embart nugroho
Novel
Bronze
PELUKAN
Akira Ken Yuri
Novel
Gold
Misteri Sanggar Cinta
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Hizib
Topan We
Cerpen
Bronze
19:00
Christian Shonda Benyamin
Skrip Film
R. 508
Kinanti Atmarandy
Novel
siAnak Indigo
syifa siswanto
Cerpen
Bronze
Mawar untuk Emily karya William Faulkner penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Novel
Last Kiss from a Vampire
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
Losmen Berdarah
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Flash
Hanya Ingin Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Danau di Belakang Kampus
Amelia Purnomo
Flash
Rumah Mbakku
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo