Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sudah beberapa hari terakhir, suara burung gagak itu tidak sekadar terdengar—ia mengitari. Seolah melayang di atas kompleks seperti penjaga kematian yang sabar menunggu. Siang ini, suaranya kembali mengiris udara, panjang dan rendah, membuat bulu kuduk berdiri sebelum angin pun sempat bergerak.
Rumah-rumah tampak redup, seperti cahaya matahari enggan menyentuhnya. Angin membawa aroma tanah basah, seperti tanah yang baru saja digali.
Udara di kompleks mendadak terasa lebih dingin dari seharusnya, meski matahari masih menggantung di langit. Ada kesunyian yang seperti menyelimuti segala sesuatu, membuat dunia tampak sedikit lebih jauh, sedikit lebih asing.
"Ibu dengar nggak? Suaranya makin jelas," bisik Radit, seolah takut gagak itu sedang mencuri dengar.
Ratih mengangguk perlahan. "Iya. Dari kemarin suaranya kayak ngikutin."
Lina mengecap bibirnya, gelisah. Pandangannya seakan menembus bayangan di pojok-pojok rumah.
"Aduh… kira-kira siapa ya yang meninggal?"
"Kalau di kompleks sebelah, Mbah Rejo katanya sakit tua," jawab Ratih, pelan—sepelan orang yang tidak ingin memanggil sesuatu yang tidak diundang.
"Terus anaknya Nia masuk ICU karena kecelakaan."
Lina menelan ludah, suaranya bergetar. "Semoga mereka diberi umur panjang ya, Mbak."
Aku hanya menatap rujak di tanganku.
Entah kenapa warnanya tampak pudar, seperti sisa mimpi yang lama ditinggal.
"Paling aku, Bun," ucapku, suaraku terdengar lebih datar dari perasaanku sendiri.
Lina langsung menoleh. Ada kegelapan kecil di matanya—ketakutan yang ia coba sembunyikan.
"Apa, Ra?"
"Aku paling yang mati, Bun."
Hening.
Hening yang tak seperti hening biasa—hening yang terasa… menggantung.
"Hush!" Ratih memotong cepat. "Jangan ngomong sembarangan! Pamali!"
Aku mengangkat bahu. "Ya kita nggak pernah tahu kapan mati."
Ratih memandangku lama, terlalu lama, seakan mencari bayangan lain di balik wajahku. “Emang kamu sudah siap mati?”
Ada sesuatu yang bergerak di sudut pandangku. Aku menoleh—tak ada apa-apa.
Tapi udara terasa semakin berat.
"Nggak tahu ya, Bude," jawabku lirih. "Hidupku rasanya kayak… sudah cukup. Kayak nggak tahu mau apa lagi. Kalau mati… kayaknya nggak nyesel."
Lina mendekat, tapi langkahnya ragu, seperti takut apa yang akan ia dengar.
"Yakin nggak nyesel? Kamu belum nikah, belum punya anak… belum merasakan apa-apa. Kok bisa bilang nggak nyesel?"
Aku menatap lantai. Bayanganku tampak panjang, aneh, seperti bukan bayanganku sendiri.
"Aku pasrah, Bun. Aku juga nggak tahu jodohku itu pernikahan… atau kematian."
"Kalau jodohku kematian, ya mati, Bun."
Lina membentak, tapi suaranya serak, seolah tenggorokannya dicekik rasa takut.
"Kamu pikir mati itu enteng? Kamu pikir alam kubur itu tempat istirahat? Emang di sana nggak ada siksaan?"
"DAPAT!!" seru Ratih, gemetar, seakan bayangan kematian sudah berdiri di belakangku.
Bunda Lina menatapku, wajahnya tegang, suaranya merayap keluar seperti bisikan dari ruang gelap.
"Amalmu sudah banyak? Sudah cukup? Sudah dijamin masuk surga? Kalau kamu yakin begitu… kamu bukan cuma pasrah. Kamu sedang menantang sesuatu yang tak boleh ditantang."
Aku terdiam. Tapi ada sesuatu… sesuatu yang dingin merambat dari tulang belakangku.
Dan untuk pertama kalinya sejak gagak itu bersuara, aku merasa bukan hanya mendengarnya.
Aku merasa dia memanggil—
dari balik langit yang menghitam, dari udara yang menurun suhunya,
atau mungkin…
dari tempat gelap yang sudah menungguku sejak lama.