Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kamu berkata bahwa kita harus berpisah, padahal baru saja bertemu pada suatu senja di stasiun kereta api.
"Bukankah katamu kita ini jodoh?" Tanyaku.
"Iya," jawabmu, "tetapi catatan takdir meminta kita berpisah dahulu, terluka dahulu oleh orang lain, lalu kita nanti akan bertemu pada suatu hari, di suatu tempat yang belum kita ketahui."
"Dengan membawa luka masing-masing?" Tanyaku.
Kamu mengangguk, "Dengan membawa luka masing-masing."
"Aku khawatir."
"Tidak perlu khawatir," katamu menenangkan, "malah saat-saat kita saling menyembuhkan luka yang kita bawa dari orang lain nanti, itulah saat-saat terbaik bagi kita untuk memulai cinta yang sejati. Sejenis cinta yang akan selalu saling menyembuhkan, memeluk, menenangkan, bukan sebaliknya."
Kita memang baru pertama kali bertemu. Namun, kita terbukti pernah saling memimpikan. Lebih dari sekali. Mimpi terhadap orang asing dalam tidur, yang tiba-tiba saja bertemu di alam nyata, di stasiun selepas hujan, dingin, dan entah mengapa mendadak terasa sendu begini.
"Sampai ketemu lagi, ya," katamu pergi bersama arus penumpang ke arah pintu keluar.
Ketika aku mematung memperhatikanmu pergi bersama pergerakan penumpang lain, tangan kiriku ditarik dari bawah.
"Ayah, mengapa kamu membiarkannya pergi?" Suara anak kecil.
Kulihat, wajahnya separuh mirip denganku, separuh mirip denganmu.
"Ayah?" Tanyaku padanya.
Anak perempuan itu lalu berkata lugu tanpa dosa bahwa dia adalah anak kita di masa depan nanti. Aku ayahnya. Kamu ibunya.
"Yang benar saja?" Aku curiga.
"Terserah mau percaya atau tidak. Yang jelas, ini semua hanya bisa terjadi kalau ayah berlari mengejar ibu, lalu, tidak membiarkannya dilukai hatinya oleh orang lain, meski hanya segores perih atau setetes air mata. Bukan malah mematung begini. Ayah bahkan tidak mengatakan kata cinta atau hati-hati di jalan. Suami masa depan macam apa."
Benar juga, aku langsung berlari ke arah kamu pergi. Namun, tidak kutemukan sama sekali.
Ketika aku kembali, anak itu sedang duduk membaca buku cerita bergambar dengan gayamu membaca, dan makan es krim dengan gayaku makan es krim.
"Payah," katanya kesal tanpa menoleh, "ayah bahkan tidak sempat memberinya uang saku. Tapi, apa boleh buat," sesaat kemudian, "ayah memang harus mencarinya nanti di antara kedatangan dan kepergian kereta senja selama bertahun-tahun seperti dalam buku cerita bergambar ini, lihat!"
Aku mengambil buku itu, melihatnya. Astaga, tokoh cerita di dalamnya adalah kamu, lalu sebelah ini, amat mirip denganku.
Ketika mataku menatap ke arah bocah itu, dia tersenyum.
"Cerita hidup kalian memang berasal dari buku ini," katanya santai, "duduklah. Mau es krim?"
(2021)