Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cahaya matahari sore menembus jendela usang, menciptakan garis-garis debu yang menari-nari di udara. Cahaya itu memudar di lantai kayu yang sudah lapuk, seolah enggan menerangi setiap sudut ruangan yang menyimpan kenangan kelam. Aku, seorang wanita paruh baya bernama Sarah, berdiri di tengah ruangan itu, rumah masa kecilku yang kini kosong dan berdebu.
Dua puluh tahun berlalu sejak aku meninggalkan rumah ini. Dua puluh tahun yang penuh dengan impian, harapan, dan kekecewaan. Aku kembali bukan karena rindu, melainkan karena warisan. Ayahku telah meninggal dunia, dan aku adalah satu-satunya ahli waris rumah ini.
Rumah ini menyimpan banyak kenangan, baik yang indah maupun yang menyakitkan. Di sinilah aku tumbuh besar, bermain bersama teman-teman, belajar membaca dan menulis. Di sinilah aku merasakan cinta pertama, patah hati pertama, dan kehilangan pertama.
Aku menyusuri setiap ruangan, mencoba menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang telah lama terkubur. Ruang tamu dengan sofa usang yang dulu menjadi tempat berkumpul keluarga. Dapur dengan meja makan yang menjadi saksi bisu setiap perdebatan dan tawa. Kamar tidurku dengan dinding yang penuh dengan poster idola remaja.
Namun, ada satu ruangan yang paling membuatku merinding: kamar ayahku. Kamar itu selalu terkunci, dan aku tidak pernah diizinkan masuk. Ayahku adalah sosok yang keras dan pendiam. Ia jarang berbicara, dan seringkali marah tanpa alasan yang jelas. Aku selalu merasa takut dan tidak nyaman berada di dekatnya.
Setelah kematian ibuku, ayahku semakin tertutup. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kamar, membaca buku atau mendengarkan musik klasik. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan atau rasakan. Aku hanya tahu bahwa ia sangat sedih dan kesepian.
Dengan tangan gemetar, aku mencoba membuka pintu kamar ayahku. Kunci sudah berkarat, dan pintu terasa berat. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya pintu itu terbuka.
Ruangan itu gelap dan berdebu. Tirai jendela tertutup rapat, menghalangi cahaya matahari masuk. Aku membuka tirai itu perlahan-lahan. Cahaya matahari menerangi ruangan itu, memperlihatkan debu yang beterbangan di udara.
Kamar itu berantakan. Buku-buku berserakan di lantai. Pakaian kotor menumpuk di kursi. Bau apak dan debu menusuk hidungku.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kerja yang penuh dengan kertas dan buku. Di atas meja itu, aku melihat sebuah foto. Foto itu adalah foto ibuku. Ibuku terlihat cantik dan bahagia dalam foto itu.
Aku mengambil foto itu dan mengamatinya dengan seksama. Aku merindukan ibuku. Ia adalah sosok yang lembut dan penyayang. Ia selalu ada untukku, mendengarkan keluh kesahku, dan memberikan semangat kepadaku.
Di bawah foto itu, aku menemukan sebuah buku catatan. Aku membuka buku itu dan mulai membacanya. Buku itu adalah catatan harian ayahku.
Aku membaca setiap halaman dengan seksama. Aku terkejut dengan apa yang kubaca. Ayahku ternyata adalah sosok yang sangat sensitif dan penuh dengan perasaan. Ia sangat mencintai ibuku, dan sangat terpukul dengan kematiannya.
Ayahku merasa bersalah atas kematian ibuku. Ia merasa tidak becus menjadi suami dan ayah. Ia merasa tidak pantas untuk bahagia.
Aku menangis membaca catatan harian ayahku. Aku baru menyadari bahwa ayahku adalah sosok yang sangat menderita. Ia menyembunyikan semua perasaannya di balik sikap keras dan pendiamnya.
Aku menyesal tidak pernah mencoba memahami ayahku. Aku menyesal tidak pernah berbicara dengannya dari hati ke hati. Aku menyesal telah meninggalkannya sendirian di rumah ini.
Aku menutup buku catatan itu dan memeluknya erat. Aku merasakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam. Aku ingin memutar waktu kembali dan memperbaiki semua kesalahan yang telah kulakukan.
Cahaya matahari semakin memudar di lantai. Hari sudah semakin sore. Aku memutuskan untuk membersihkan kamar ayahku. Aku mengumpulkan buku-buku dan menatanya di rak. Aku membuang pakaian kotor dan membersihkan debu.
Setelah beberapa jam bekerja, kamar itu terlihat lebih bersih dan rapi. Aku membuka jendela lebar-lebar, membiarkan udara segar masuk.
Aku berdiri di depan jendela dan menatap langit senja. Cahaya matahari memudar, digantikan oleh cahaya bulan dan bintang. Aku merasa lebih tenang dan damai.
Aku tahu bahwa aku tidak bisa mengubah masa lalu. Aku tidak bisa menghidupkan kembali ayahku atau ibuku. Tapi, aku bisa belajar dari masa lalu dan memperbaiki diriku di masa depan.
Aku memutuskan untuk menjual rumah ini. Aku tidak ingin lagi terikat dengan kenangan-kenangan yang menyakitkan. Aku ingin memulai hidup baru, dengan harapan dan impian baru.
Aku akan selalu mengenang rumah ini sebagai tempat di mana aku tumbuh besar dan belajar tentang kehidupan. Aku akan selalu mengenang ayahku dan ibuku sebagai orang tua yang aku cintai, meski mereka tidak sempurna.
Cahaya memudar di lantai, tapi kenangan akan selalu hidup di dalam hatiku.