Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Waktu kecil, aku pikir barang-barang itu muncul begitu saja di meja: sepatu baru saat yang lama mulai sempit, buku tulis sebelum lembar terakhir habis, uang saku yang jumlahnya selalu pas, entah kenapa.
Aku tidak pernah bertanya dari mana datangnya.
Mungkin karena kupikir, memang begitulah seharusnya hidup berjalan, ada yang menyediakan, ada yang menjaga, tanpa perlu ku tahu bagaimana caranya.
Sampai suatu malam, aku memberanikan diri.
“Pak, kok semua yang aku butuhin selalu ada, sih?”
Kau hanya tersenyum, sambil melepas baju kerjamu yang masih berbau keringat dan jalanan.
“Bapak usahain,” katamu ringan, seolah dua kata itu cukup menjelaskan segalanya.
Tapi justru dua kata itu yang menempel di kepalaku bertahun-tahun.
Aku tak benar-benar mengerti waktu itu, sampai hari ini, saat aku duduk di kursi yang sama, menatap jam dinding yang seolah berjalan lebih lambat dari hatiku sendiri.
Sekarang aku tahu rasanya.
Harus tetap bekerja meski tubuh minta istirahat, harus diam meski hati ingin bercerita, harus tersenyum meski di dada ada hal-hal yang belum selesai.
Harus melangkah lagi meski kecewa, sepi, dan kosong menunggu di depan pintu.
Aku mengerti kenapa dulu kau jarang marah, tapi juga jarang tertawa panjang.
Bukan karena tak ingin, tapi karena hidup kadang tidak memberi ruang untuk itu.
Aku masih mengingat caramu menatap jalanan setiap berangkat kerja, dengan pandangan yang tidak gagah tapi penuh tekad, seolah berkata, “hidup boleh berat, tapi anakku harus tetap makan enak.”
Dan sekarang, aku sedang menjalani ceritaku sendiri.
Bangun pagi, berangkat dengan langkah yang sama beratnya, menyusun alasan untuk terus bertahan, meski tak selalu tahu apa yang menunggu di ujung hari.
Tapi setiap kali aku merasa ingin menyerah, aku teringat dua kata yang dulu kau ucapkan dengan napas lelah itu.
“Bapak usahain.”
Dan aku pun kembali berdiri, karena rupanya begitu cara lelaki belajar bertahan hidup, bukan dari buku, bukan dari nasihat panjang, tapi dari contoh sederhana yang diam-diam kau tunjukkan setiap hari.
Kini aku tahu, Pak.
Semua yang dulu tampak muncul begitu saja, ternyata datang dari keringatmu, waktumu, dan cintamu yang tak pernah banyak bicara.
Dan tugasku sekarang sederhana saja: melanjutkan perjuangan itu, agar suatu hari nanti, saat anakku bertanya hal yang sama, aku bisa tersenyum dan menjawab dengan tenang,
“Bapak Usahain.”